Sabtu, 10 Januari 2015

Siapa Dalang Black Campaign Pilpres 2014 Sebenarnya??

Siapa Dalang Black Campaign Pilpres 2014 Sebenarnya??
Oleh. Ikhwanul Bekti Trian Putri
Dibalik maraknya pesta demokrasi di Indonesia 9 Juli 2014, mencuat sebuah perilaku unik yang sebagian orang cenderung menganggapnya sebagai perilaku disintegritas atau perilaku tidak terhormat yang dilakukan oleh sekelompok oknum-oknum tidak bertanggungjawab. Kampanye hitam (Black Campaign), demikian orang menyebutnya. Cara kerja perilaku tersebut yaitu dengan menyebarkan isu, rumor atau pemikiran yang belum tentu dapat dipertanggung jawabkan kebenarannya pada media-media tertentu dengan tujuan untuk menjatuhkan lawan politik atau kubu politik yang berseberangan. Black Campaign atau kampanye hitam adalah jenis aktivitas seruan berupa materi kampanye yang tidak sesuai dengan kenyataan atau mengada-ada. Kampanye hitam di sini mewakili sebuah istilah yang buruk, jelek, intinya patut dijauhi. Selanjutnya di dalam penggunaannya diartikan kampanye menjelekkan lawan politik. Namun, sebenarnya juga dapat diartikan sebagai kampanye yang buruk. Isi kampanye cenderung mengandung fitnah dan tidak bisa dibuktikan kebenarannya. Bagaimana tidak sekarang mudah kita jumpai di berberapa media maupun jejaring sosial  banyak orang entah dari kalangan politik maupun kalangan akar rumput yang menyebarkan isu maupun rumor yang belum tentu dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya.
Berdasarkan survei piktochart, 80% Black Campaign serangan media pada capres Prabowo Subianto adalah black campaign. Karena Prabowo menerima serangan dengan materi terkait isu HAM dan rencana kudeta. 20% Negative Campaign yang memang secara fakta telah terjadi dengan isu pada keluarga yang tidak harmonis. Capres Jokowi, 90% serangan berupa Negative Campaign artinya memang fakta yang ada pada Jokowi, misalnya terungkap fakta setelah media melakukan investigasi dan ternyata ditemukan kebohongan dan pencitraan didalamnya, seperti kasus mobil ESEMKA, Pasar Tanah Abang, MRT, Busway Transjakarta yang gagal, Jokowi didukung aliran sesat syiah katholik Vatikan dan protestan James Riady, Mafia hitam koruptor BLBI dan mantan Jenderal yang terlibat kerusuhan Mei 1998 adalah fakta riil dilapangan. 10% sisanya adalah black campaign. (Sumber Kompasiana)
Ada anggapan bahwa Black Campaign yang dilakukan oleh pihak Jokowi-JK adalah oknum-oknum yang bersimpati dengan Jokowi-JK agar kandidat nomor 2 ini kelihatan tedzolimi. Lihat saja dari gaya penulisan, gaya bahasa, dan komentarnya, yang biasanya tentang fitnah dan kejelekan Jokowi, semata-mata agar Jokowi terkesan didhzolimi. Belum lagi dari kubu Prabowo-Hatta yang banyak beredar Black Campaign yang sangat keji menjatuhkan nama baiknya sebagai Capres dan Cawapres. Bukan hal baru lagi di beberapa media yang menyatakan jelas pernyataan seperti itu. Bagaimana jika di media oknum-oknum tersebut sengaja membuat isu, maupun informasi yang bersifat menjatuhkan dan oknum lain saling berbalas-balasan saling menjatuhkan satu sama lain, mau jadi apakah bangsa ini. Maka dari itu menjadi rakyat  yang cerdas sudah sepantasnya kita meyakinkan dan mengajak orang-orang disekeliling kita untuk selektif memilih jangan terpengaruh dengan Black Campaign yang belum tentu benar di media masa, pilih lah dengan hati nurani dan logika yang baik demi kemajuan dan perbaikan bangsa ini.
Selain itu sudah selayaknya bangsa ini menjadi dewasa dalam menyikapi black campaign. Bagaimanapun juga, black campaign masih merupakan bagian dari strategi pemenangan dan masih mampu memberikan pengaruh yang cukup signifikan. Apalagi bagi kaum akar rumput yang belum banyak pengetahuan mengenai dunia politik. Berpikir dengan kepala jernih bukan saja dapat memahami black campaing secara lebih bijak sebagai sebuah fenomena sosial yang muncul secara alamiah pada bangsa yang masih remaja dalam bernegara dan berdemokrasi, tetapi juga mampu menghindari perpecahan akibat ulang orang-orang yang tidak bertanggung jawab. Suara rakyat akan tetap menjadi kekuatan utama, meski sebuah suara dapat dibeli tapi yakinlah suara Tuhan untuk menentukan siapa pemimpin yang tepat untuk bangsa ini tak akan bisa di beli.

Pancasila, Pendidikan dan Perilaku Demagog

Pancasila, Pendidikan dan Perilaku Demagog[1]
Haryo Wisnu Murti[2]

“ dengan selamat sentosa mengantarkan rakyat Indonesia kedepan pintu gerbang kemerdekaan Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur,…”
            Sepenggal kalimat ini dapat dengan mudah kita temukan dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Indonesia Tahun 1945. Ya,..benar penggalan kalimat diatas terdapat pada alenia ke-2 Pembukaan UUD 1945 yang kemudian kita kenal sebagai cita-cita bangsa Indonesia. Namun permasalahannya apakah masyarakat Indonesia sepenuhnya mengetahui hal ini? maka dari realita dalam masyarakat dapat kita katakan bahwa sebagian besar masyarakat kita masih hidup dalam ketidaktahuan apa yang menjadi cita-cita bangsa Indonesia ini.
Indonesia dan Cita-Citanya
            Ibarat bendera yang berkibar hanya setengah tiang, kemerdekaan yang kita rasakan adalah kemerdekaan setengah merdeka, kemerdekaan hanya dirasakan bagi mereka si tuan-tuan berdasi yang kian lalu-lalang di dalam gendung-gedung yang terus menggrogoti lahan pertanian rakyat. Kemerdekaaan hanya dirasakan mereka yang terus menjual aset berharga ke luar negeri, namun sudahkah rakyat dipedesaan, pesisir pantai, pegunungan, perbukitan merasakan kemerdekaan? Hanya sebagian kecil dari mereka yang memiliki tingkat pendidikan yang mumpuni yang dapat sedikit menikmati kata-kata merdeka, selebihnya mereka harus menahan senyum kemerdekaan untuk terus berjuang ditengah bayang-bayang penjajahan secara sosial budaya,. Akibatnya kini mereka lebih sibuk untuk mengurus api di tungku mereka daripada memikirkan kemerdekaan, nyaris dapat dikatan tragis,..!!
            Apa yang menjadi cita-cita bangsa Indonesia telah didukung dengan tujuan adanya negara Indonesia sebagaimana telah disebutkan dalam Pembukaan UUD 1945, dan salah satu poin yang terpenting adalah mencerdaskan kehidupan bangsa.  Pendidikan menjadi salah satu hal yang urgent untuk segera dipenuhi, standar kemakmuran masyarakat tentu akan berbanding lurus dengan tingkat pendidikan masyarakatnya. Ketika tingkat pendidikan mereka tinggi maka angka kemakmuran akan tinggi, namun ketika tingkat pendidikan mereka rendah, tentu angka kemakmuran akan kian menurun.
Pendidikan: Penentu Peradaban Indonesia
            Pendidikan sebagai kunci untuk mencapai tujuan dan meraih cita-cita bangsa harusnya segera dipenuhi, apapun itu jenis pendidikannya namun ketika itu bermaanfaat tentu harus menjadi prioritas. Berkaitan dengan persatuan bangsa, pendidikan menjadi pembelajaran untuk mewadahi keberagaman masyarakat Indonesia, pendidikan seharusnya hadir sebagai pemersatu ke majemukan di Indonesia. Salah satunya tentu dengan penanaman semangat Nasionalisme. Pembelajaran mengenai nasionalisme menjadi urgent agar bangsa Indonesia tidak kebablasan menuju Chauvinisme seperti yang dulu pernah di gencar-gencarkan oleh Adolf Hitler dengan Nazi-nya, Benitto Mussolini dengan Fasis-nya dan semangat Hakko I Chu milik kaisar Hirohito dari jepang waktu itu.
            Pendidikan sebagai sarana untuk mencerdaskan kehidupan bangsa tentu diharapkan mampu untuk membatasi gerak bangsa Indonesia agar tidak menuju arah Chauvinisme tersebut. Chauvinisme sebagai suatu paham yang mementingkan kepentingan negara sebagai kepentingan utama dan diatas segal-galanya, Chauvinisme juga didasarkan pada pertimbangan Rasialisme dan Etnosentrisme, hal ini tentu sangat bertentangan dengan paham kebangsaan yang sejati yaitu paham yang mencakup dan mengakui persamaan hak bagi seluruh warga negara tanpa adanya diskriminasi, dan pembedaan[3] atau hal-hal yang sejenis.
            Semangat reformasi yang ditandai dengan runtuhnya orde baru dan dilakukannya amandemen terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, menjadi tonggak penting bagi tercapainya tujuan dan cita-cita bangsa Indonesia. Dengan adanya kepastian anggaran untuk pendidikan serta jaminan sosial bagi masyarakat kurang mampu menjadi angin segar bagi semua kalangan. Setidaknya ada tiga poin penting yang juga harus segera dilakukan untuk membenahi Indonesia Emas 2045 ini, yaitu berkaitan dengan kekuatan politik, ekonomi dan supremasi hukum, ketiga ketiga poin tersebut terpenuhi maka pendidikan sebagai ujung tombak masa depan bangsa mampu memberikan  wawasan kebangsaan yang tentu relevan dengan kaidah-kaidah moral, sehingga tidak hanya mampu menjaga persatuan dan kesatuan bangsa namun juga mampu untuk menumbuhkan semangat kekeluargaan[4].
            Berbagai permasalahan diatas seharusnya telah lama mampu kita atasi apabila kita benar-benar berpegang teguh dalam menjalankan Pancasila sebagai dasar negara. Pancasila menjadi sangat penting ditengah segala konflik dan permasalahan di negeri ini. Implementasi dari pancasila seharusnya dijadikan sebagai dasar dalam membuat sebuah kebijakan. Pendidikan tidak akan belangsung dengan baik apabila itu bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila, nasionalisme akan dapat bergeser ke Chauvisme apabila tidak berlandaskan pada Pancasila.
            Pancasila merupakan puncak peradaban pengetahuan di Indonesia dan merupakan pencapaian demokrasi yang paling penting di Indonesia yang telah dihasilkan oleh pendiri bangsa (The Founding Fathers) Indonesia, Pancasila muncul tidak untuk diperdebatkan karena merupakan suatu Konsensus nasional bangsa Indonesia yang beragama suku dan budaya. Dan Pancasila merupakan symbol persatuan dan kesatuan Bangsa Indonesia dimana terdapat pertemuan nilai-nilai dan pandangan ideologi yang kemudian dijadikan sebagai dasar atau landasan bersama dalam kehidupan berbangsa[5].
            Kemajuan pendidikan di suatu negara tentu tidak lepas dari peran seorang kepala negara, apalagi kita bangsa Indonesia menganut system Presidensial dimana kepala negara merangkap sebagai kepala pemerintahan, hal ini tentu diharapkan mampu memaksimalkan kinerja presiden untuk menyejahterakan rakyatnya, kita tidak perlu khawatir tentang penyelewengan oleh presiden, prinsip saling mengawasi dan mengimbang (check and balances) antarlembaga negara telah menjadi salah satu agenda dalam reformasi. Diperlukan sinergi yang kuat antara lembaga eksekutif dengan lembaga legislatif, karena system ini telah diyakini mendukung jalannya demokrasi maka jangan sampai system “Presiden Sial” kemudian akan berubah menjadi “Presiden sialan”, apakah ini bisa terjadi? Tentu sangat diyakini hal ini bisa terjadi, Presiden sialan dapat menjadi bagian dari pemerintahan ini apabila dalam pemerintahan presiden menggunakan hak prerogratifnya secara sewenag-wenang, selain itu Presiden sialan juga lahir dari unsur personal (dalam hal ini presiden) yang buruk moralnya serta tanpa kontrol[6]. Hal ini tentu sedikit banyak akan mempengaruhi perkembangan dunia pendidikan dan karakter bangsa, tentu kepala negara yang buruk moralnya akan menyesatkan bangsa ini menuju lembah kehancuran. Kebobrokkan moral menjadi kunci utama menuju titik neider bangsa Indonesia, jangan samapailah hal mengerikan ini terjadi, ya,.itulah harapan terbesar kita.
Pancasila sebagai “ Ruh” Pendidikan Nasional    
            Berdasarkan pembahasan diatas kita telah membicarakan mengenai benang merah yang menghubungkan antara pendidikan dan Pancasila, dimana Pancasila yang kemudian menjadi dasar terbentuknya Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945, dan dalam Pembukaan UUD 1945 inilah konon masa depan bangsa kita tertulis sebagai iktikad menuju bangsa yang berdaulat dalam segala aspek kehidupan. Pancasila mengenalkan kepada kita mengenai pendidikan Agama, mengajarkan keberagaman beragama dalam suatu bingkai kesatuan, Pancasila memberikan suplemen bagi otak kita mengenai kehidupan yang beradab, bertoleransi dalam perbedaan, persatuan dan kesatuan menjadi bukti bahwa pancasila merupakan perekat terbaik masyarakat yang majemuk. Kesejahteraan dan keadilan kemudian menjadi poin penutup dalam Panca tombak menuju bangsa yang merdeka.
            Pancasila sebagai Fundamental Norms memberikan “ruh” tersendiri kepada pendidikan di negeri ini, celakanya kita yang tidak mampu untuk menggali “ruh” tersebut lebih dalam. Pancasila memberikan pandangan yang menjadi jalan tengah antara Liberal dan sosialis, namun celakanya bangsa kita saat ini terlalu me-liberalkan pendidikan kita, segala yang kita pelajari berkiblat dari barat yang notabene adalah penganut paham liberal. Hal inilah yang menjadikan muncul berbagai permasalah dalam segala aspek kehidupan masyarakat. Pendidikan saat ini yang cenderung hanya mempersoalkan kepentingan pribadi menjadikan kita berlomba-lomba untuk kepentingan sendiri sehingga memunculkan pribadi-pribadi yang kian menghasut bangsanya sendiri untuk memenuhi kepentingan sendiri atau golongannya, kuranganya pengajaran karakter dan penanaman akhlak mulia menjadikan kita bangsa yang lupa diri.
            Dalam situasi yang lebih dari memprihatinkan ini tentu diakibatkan sebagian dari pendidikan kita telah dicekoki oleh hal-hal yang berbau liberal. Dari awal pancasila telah menawarkan sebagai ratu adil untuk memrampungkan persoalan yang telah menganak-pinak ini. Pancasila memiliki tingkat kekompleksan peradabaan yang baik yang seharusnya mampu mengantarakan bangsa ini menjadi bangsa yang beradab pula.
            Seharusnya segala permasalah ini dapat dihadapi, yang kita lakukan bukanlah mempersoalkan tentang ideologi Pancasila, karena Pancasila telah menjadi ujung tombak yang telah disepakati oleh seluruh masyarakat Indonesia. Pancasila telah menjadi konsensus bagi rakyat Indonesia, sehingga telah memanunggaling dengan nilai-nilai luhur bangsa ini. Maka yang perlu kita lakukan adalah memasukkan nilai-nilai luhur dari pancasila kedalam pendidikan Nasional, pendidikan karakter dan moral perlu menjadi target utama untuk segera diperbaiki sehingga pengajaran lebih membahas pengenai karakter dan moral. Moral dan karakter menjadi penting karena berkaitan dengan perilaku setiap individu, maka peran pendidikan yang didasari “ruh-ruh” pancasila sangat penting untuk membentuk karakter bangsa. Pembelajaran mengenai semangat nasionalisme sangat perlu untuk memupuk kembali semangat cinta tanah air, dan poin terpenting adalah semuanya harus dillakukan mulai saat ini dan harus mulai dikenalkan mulai dari keluarga, masyarakat, institusi pemerintahan dan institusi pendidikan terendah sekalipun.
            Ketika hal-hal diatas bukan tidak mungkin kita akan kembali menjadi bangsa yang memiliki jati diri, bukan tidak mungkin cita-cita yang telah terkibur selama 69 tahun akan terwujud dan adalah sebuah kepastian bahwa bangsa Indonesia akan menjadi bangsa yang benar-benar merdeka. Salam merdeka!!






Daftar Pustaka

A.Ubaedillah dan Abdul Razak(penyunting). 2008(cet.ke 3). Pendidikan Kewargaan( Civic Education) Demokrasi, Hak Asasi Manusia dan Masyarakat Madani. Jakarta: ICCE dan Kencana Prenada Media Group.
Indrayana, Denny. 2008. Negara Ada dan Tiada, Reformasi Hukum Ketatanegaraan. Jakarta: PT Kompas Media Nusantara.
Madjid, Nurcholis. 2003. Indonesia Kita. Jakarta: PT. Gramedia
Sulastomo. 2003. Reformasi, antara Harapan dan Realita. Jakarta: PT Kompas Media Nusantara




[1] Artikel ini disampaikan dalam lomba esai tingkat  UNY yang diadakan oleh HIMA PKnH FIS UNY tanggal  8 september.
[2] Penulis adalah mahasiswa angkatan 2013 jurusan Pendidikan Kewarganegaraan dan Hukum FIS UNY yang sedang menempuh semester 3.
[3] Madjid, Nurcholis. 2003. Indonesia Kita. Jakarta: PT. Gramedia. Hal. 66-67.
[4] Sulastomo. 2003. Reformasi, antara Harapan dan Realita. Jakarta: PT Kompas Media Nusantara. Hal. 6-8.
[5] A. Ubaedillah dan Abdul Razak(penyunting). 2008(cet.ke 3). Pendidikan Kewargaan( Civic Education) Demokrasi, Hak Asasi Manusia dan Masyarakat Madani. Jakarta: ICCE dan Kencana Prenada Media Group. Hal. 20-22.
[6] Indrayana, Denny. 2008. Negara Ada dan Tiada, Reformasi Hukum Ketatanegaraan. Jakarta: PT Kompas Media Nusantara. Hal. 214-215.

Jumat, 19 Desember 2014

Kamis, 04 Desember 2014

OPTIMISME GURU PROFESIONAL DALAM PENERAPAN KURIKULUM 2013 CIPTAKAN GENERASI EMAS INDONESIA

OPTIMISME GURU PROFESIONAL DALAM PENERAPAN KURIKULUM 2013 CIPTAKAN GENERASI EMAS INDONESIA
Oleh: Lu’lu’ Olivia Ningrum Kusuma Dewi


Modal besar yang ada di Indonesia adalah potensi jumlah penduduk usia produktif yang melimpah. Saat ini jumlah penduduk Indonesia usia produktif (15-64 tahun) lebih banyak dari usia tidak produktif (anak-anak berusia 0-14 tahun dan orang tua berusia 65 tahun ke atas). Jumlah penduduk usia produktif ini akan mencapai puncaknya pada tahun 2020-2035 pada saat angkanya mencapai 70%. Oleh sebab itu tantangan besar yang dihadapi Indonesia adalah bagaimana mengupayakan agar sumber daya manusia usia produktif yang melimpah ini dapat ditransformasikan menjadi sumber daya manusia yang memiliki kompetensi dan keterampilan melalui pendidikan agar tidak menjadi beban. Usia produktif tersebut yang dinamakan generasi emas bagi bangsa Indonesia. Generasi emas tersebut harus dipersiapkan menjadi sumber daya manusia yang cerdas, kompetitif, dan sebagai insan berkarakter. Generasi emas memainkan peranan penting dalam kelangsungan hidup berbangsa dan bernegara. Karena sifatnya ini, generasi emas menjadi kelompok yang potensial untuk mendukung pembangunan.
Namun, di tangan siapakah generasi emas dapat terbentuk? Tentu banyak pihak yang terlibat agar Indonesia memiliki generasi emas yang benar-benar handal untuk membangun negara ini. Pihak-pihak tersebut antara lain, pemerintah melalui program-programnya, orang tua yang mendukung pendidikan anaknya, masyarakat yang menjadi lingkungan sehari-hari bagi anak, dan tak kalah pula peran guru yang profesional dalam mendidik. Oleh karena itu, guru adalah jembatan yang akan dilalui generasi emas untuk membangun Indonesia menjadi negara yang dapat bersaing dengan negara-negara maju. Jembatan, tidak tahu apa yang terjadi di masa lalu dan tidak tahu apa yang akan terjadi di masa depan, tapi akan berdiri kokoh menopang semua yang melaluinya. Mungkin guru tidak tahu apa yang akan terjadi di masa yang akan datang, khususnya apa yang akan terjadi pada peserta didiknya, tetapi guru dapat mengantarkan peserta didik menjadi generasi terbaik bagi masa depan.
Guru yang optimis dan profesional dalam keprofesiannya dapat mempersiapkan peserta didik menjadiGenerasi Indonesia Emas 2045”. Menurut UU No. 20 tahun 2003 pasal 39 ayat 2, pendidik merupakan tenaga profesional yang bertugas merencanakan dan melaksanakan proses pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, melakukan pembimbingan dan pelatihan, serta melakukan penelitian dan pengabdian kepada masyarakat, terutama bagi pendidik pada perguruan tinggi. Dari pengertian tersebut dapat kita ambil kesimpulan bahwa peran guru profesional adalah mempersiapkan peserta didik menjadi warga negara yang baik. Dalam hal ini dapat ditarik benang merah bahwa dalam peranannya sebagai ujung tombak pendidikan, guru wajib memiliki kualifikasi akademik, sertifikasi pendidik, kompetensi, dan yang utama adalah mampu mewujudkan tujuan pendidikan nasional secara khususnya dan tujuan nasional secara umumnya.
Tugas baru pendidikan untuk mencetak generasi emas 2045 harus diikuti dengan profesionalisme guru, yang kunci utamanya terletak pada guru dan pendidikan guru yang bermutu. Guru bermutu menjadi variabel penting bagi terwujudnya pendidikan yang bermutu. Kebermutuan guru dapat dibuktikan dengan pelaksanaan tugasnya di lapangan, terutama ketika mengajar. Guru yang bermutu dapat menerapkan berbagai model pembelajaran yang sesuai dengan tingkat perkembangan peserta didik, heterogenitas peserta didik, dan lingkungan tempat tinggal peserta didik. Saat ini sudah banyak model, strategi, pendekatan, dan metode dalam pembelajaran yang dikembangkan sesuai dengan kebutuhan peserta didik. Guru adalah kunci untuk menerapkan itu semua sehingga pada akhirnya peserta didik dapat memahami materi yang diajarkan dengan baik. Tak hanya memahami, peserta didik diharapkan dapat menerapkan apa yang telah dipelajari di sekolah dalam kehidupan sehari-hari, sehingga materi-materi yang diajarkan di sekolah sangat terasa kebermanfaatannya.
Secara akademis, riset membuktikan bahwa setiap anak lahir dengan potensinya masing-masing. Tugas pendidikan adalah mengupayakan agar anak bisa mengenal potensi dirinya, sedangkan pendidikan berperan memberikan fasilitas agar mereka dapat mengembangkan potensinya, baik bidang akademik maupun potensi nonakademik, seperti seni dan olahraga. Namun, berdasarkan data dari Trends in International Math and Science Survey tahun 2007 disebutkan bahwa hanya 5% siswa Indonesia yang dapat mengerjakan soal berkategori advance yang memerlukan reasoning. Dalam perspektif lain, 78% siswa Indonesia hanya dapat mengerjakan soal berkategori rendah yang semata hanya memerlukan knowing dan hafalan. Dari sinilah perlunya mengembangkan kurikulum yang menuntut penguasaan reasoning.
Pengembangkan kurikulum dalam sistem pendidikan Indonesia adalah pendidikan yang dapat mengantarkan generasi masa kini menjadi generasi emas Indonesia 2045. Terlebih lagi pencanangan generasi emas tahun pertama juga telah dibarengi dengan revitalisasi pendidikan karakter. Kurikulum 2013 adalah kurikulum yang terintegrasi antara satu mata pelajaran dengan mata pelajaran yang lain, sehingga memiliki keterkaitan dan tidak terkotak-kotak seperti kurikulum sebelumnya. Kurikulum 2013 juga mengembangkan aspek kognitif, afektif, dan psikomotor secara seimbang melalui scientific approach. Pengintegrasian tersebut merupakan langkah yang tepat agar peserta didik dapat menemukan korelasi antara satu materi dengan materi lain. Pendidikan yang terintegrasi jika diterapkan akan serasi antara proses dan produk karena keduanya mendapatkan porsi nilai yang seimbang. Hal tersebut membuat peserta didik lebih mudah menerapkan segala hal yang telah diperoleh dari pendidikan. Selain itu dalam mengintegrasikan mata pelajaran satu dengan mata pelajaran lain disisipkan pula pendidikan karakter dengan harapan agar peserta didik selain menjadi manusia yang intelektual juga dapat menjadi manusia yang berakhlak mulia.
Berdasarkan hasil kajian terdapat 18 nilai-nilai kebaikan yang akan disemaikan kepada peserta didik melalui pendidikan karakter. 18 nilai tersebut antara lain religius, kejujuran, toleransi, disiplin, kerja keras, kreatif, mandiri, demokratis, rasa ingin tahu, semangat kebangsaan, cinta tanah air, menghargai prestasi, bersahabat/komunikatif, cinta damai, gemar membaca, peduli akan lingkungan, peduli sosial, dan bertanggung jawab. Untuk itu, Kurikulum 2013 adalah kurikulum yang diharapkan dapat menjawab tantangan masa depan, yaitu mempersiapkan manusia Indonesia agar memiliki kemampuan hidup sebagai pribadi dan warga negara yang beriman, produktif, kreatif, inovatif, dan afektif, serta mampu berkontribusi pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, bernegara, dan peradaban dunia. Untuk mempersiapkan manusia Indonesia yang memiliki sifat-sifat tersebut harus dimulai dari pendidikan dasar. Dalam Kurikulum 2013 untuk sekolah dasar, kompetensi dikembangkan melalui tematik integratif dalam semua mata pelajaran. Kompetensi dasar dirumuskan untuk mencapai kompetensi inti. Rumusan kompetensi dasar dikembangkan dengan memperhatikan karakteristik peserta didik, kemampuan awal, serta ciri dari suatu mata pelajaran. Kompetensi dasar dibagi menjadi empat kelompok sesuai dengan pengelompokkan kompetensi inti, yaitu kompetensi dasar sikap spiritual, kompetensi dasar sikap sosial, kompetensi dasar pengetahuan, dan kompetensi dasar keterampilan.
Namun, apapun model pembelajaran dan bagaimana sistem pendidikan yang diterapkan di Indonesia, guru yang profesional dan selalu optimis adalah ujung tombak bagi pembentukan generasi emas yang dapat membangun Indonesia menjadi lebih baik di masa depan. Optimisme guru dalam penerapan Kurikulum 2013 akan menjadi lebih bermakna bila menjadikan karakter peserta didik sesuai dengan karakter bangsa Indonesia yang penuh dengan nilai-nilai luhur. Lebih dari kata profesional, saat ini Indonesia membutuhkan guru yang dapat mengajar dengan hati nurani, yaitu guru yang dapat mendedikasikan dirinya untuk mendidik di mana pun, kapan pun, dan apapun kondisinya.

Pendidikan yang Manusiawi untuk Mewujudkan Generasi Emas Indonesia

Pendidikan yang Manusiawi untuk Mewujudkan Generasi Emas Indonesia
oleh: Andreas Agil Munarwidya

Wajib Belajar?
Perlu dipahami dengan saksama bahwa pendidikan di Indonesia terbagi ke dalam tiga jalur utama, yaitu formal, nonformal, dan informal.
Pendidikan formal adalah pendidikan yang diselenggarakan di sekolah-sekolah pada umumnya. Jalur pendidikan ini mempunyai jenjang pendidikan yang jelas, mulai dari pendidikan dasar, pendidikan menengah, sampai pendidikan tinggi.
Pendidikan nonformal paling banyak terdapat pada usia dini, serta pendidikan dasar, adalah TPA, atau Taman Pendidikan Al Quran,yang banyak terdapat di setiap masjid dan Sekolah Minggu, yang terdapat di semua gereja. Selain itu, ada juga berbagai kursus, diantaranya kursus musik, bimbingan belajar dan sebagainya.
Pendidikan informal adalah jalur pendidikan keluarga dan lingkungan berbentuk kegiatan belajar secara mandiri yang dilakukan secara sadar dan bertanggung jawab.
(wikipedia.org)

Oleh karena itu, ketika kita harus berbicara ihwal pendidikan di Indonesia, sebenarnya kita wajib mengikutsertakan pemahaman akan jalur utama pendidikan Indonesia di atas tadi. Namun, kenyataan yang terjadi saat ini memaparkan pada kita semua bahwa pendidikan yang terus dikembangkan dan sering mendapatkan perhatian lebih hanya terpusat pada penguatan-penguatan di wilayah pendidikan formalnya. Sadar atau tidak, inilah penyebab kegagalan kita dalam merumuskan pendidikan yang baik untuk bangsa Indonesia, karena ternyata kita lalai dan lupa bahwa pendidikan di Indonesia tidak hanya berada pada ruang-ruang kelas, sekolah, kampus, dan atauuniversitas.
Penguatan di wilayah pendidikan formal seharusnya juga diseimbangkan dengan penguatan di wilayah pendidikan nonformal dan pendidikan informal. Penanaman karakter berupa logika yang baik, etika yang santun, serta estetika yang benar harus dihadirkan di dalam ruang-ruang pendidikan nonformal terlebih di pendidikan informal. Kita kerap mendengar bahwa pendidikan yang baik adalah pendidikan yang dimulai sejak dini atau sejak kita masih berada dipangkuan kedua orang tua kita. Akan tetapi, kenyataan yang ada di lapangan menunjukkan bahwa pendidikan anak di rumah banyak yang terabaikan. Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) juga seolah-olah dijadikan sebagai Pendidikan Anak... “karena masih terlalu dini, ya sudah, dibuat apa adanya saja”.
Di sisi lain, kewajiban belajar masyarakat Indonesia tereduksi dengan “perintah” wajib belajar 9 tahun. Alih-alih mencerdaskan kehidupan bangsa, program wajib belajar 9 tahun hanya menjadikan pembelajar muda Indonesia terjerumuskan pada pola pikir: “yang penting sudah belajar 9 tahun”. Alhasil, hanya capaian tahunnya (baca: kuantitas) saja yang terlaksana, tetapi pada kenyataannya minim dengan capaian keahlian dari sumber daya manusia yang sudah belajar 9 tahun itu (baca: kualitasnya). Padahal, untuk memajukan bangsa yang kuat ini, kita membutuhkan sumber daya manusia yang berkarakter kuat lewat pendidikan itu sendiri.
Faktor  determinan  membangun  kehidupan  yang  lebih  baik,  termasuk  kehidupan berbangsa adalah sumber daya manusia  (SDM). Wilson  dan  Ernesto  (Davis, 1990:1)  mengatakan  bahwa  sentra  utama kehidupan  adalah  SDM.  Mereka  mengatakan: “If you dig very deeply into any problem, you  will  get  people.  The  human  being  is  the center and yardstick of everything”.[1]

Apa jadinya bila selama ini pendidikan hanya dianggap formalitas saja? Akhirnya tidak mengherankan bila lahir pula generasi penerus yang sama –bahkan mungkin jauh lebih buruk– karena generasi sebelumnya gagal mencerna pendidikan sebagai sebuah kebutuhan primer, bukan hanya di wilayah formal, melainkan juga di wilayah nonformal terlebih lagi di wilayah informal.
Pendidikan yang Sesuai dengan Kebutuhan Manusia
Banyak arti dan definisi dari pendidikan –bahkan terlalu banyak. Akan tetapi, pendidikan yang didefinisikan beragam dan bermacam itu akhirnya sekedar menjadi wacana bisu yang semakin menenggelamkan masyarakat pada diskusi-diskusi abstrak tentang arti dari sebuah pendidikan. Masih banyak manusia-manusia Indonesia yang terbelakang dan tertinggal pendidikannya bukan karena program-program pendidikan dari pemerintah yang tidak bagus. Bukan. Keterbelakangan dan ketertinggalannya bangsa kita di bidang pendidikan lebih dipengaruhi oleh cara pandang kita dalam memaknai pendidikan itu sendiri. Tidak dapat dipungkiri bahwa manusia membutuhkan pendidikan untuk mencerdaskan pemikirannya guna didayagunakan untuk kesejahteraannya dalam rangka mencari pekerjaan ataupun penghidupan agar mencapai kebahagiaan dalam hidupnya lahir maupun batin. Akan tetapi, fakta di lapangan menjawab bahwa proses pendidikan yang dilakukan oleh bangsa kita saat ini tidak benar-benar aplikatif alias tidak mengantarkan kita pada pemenuhan kebutuhan untuk saat ini dan untuk masa yang akan datang.
Lalu, pendidikan yang bagaimana yang dapat memenuhi harapan tersebut di atas? Jawabannya adalah “pendidikan yang manusiawi”: pendidikan yang menjadikan manusia menjadi sejatinya manusia (humanis) dengan mendorong manusia supaya mendayagunakan akal dan budinya demi terciptanya kedamaian dan kesejahteraan bersama. Pendidikan ini menitikberatkan pada pemenuhan kebutuhan lahir batin manusia sebagai subjek sekaligus objek dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Pendidikan yang memberikan kepastian visi dengan hasil akhir berupa manusia-manusia merdeka yang mampu hidup dengan keahliannya untuk memenuhi kebutuhan hidupnya bukan dengan saling menjatuhkan dan memperkaya diri sendiri, melainkan dengan tolong menolong, yang mampu membantu yang kurang mampu, dengan berasaskan perikemanusiaan dan perikeadilan. Pembelajar-pembelajar muda Indonesia tidak perlu dibebani dengan banyak mata pelajaran yang harus dipelajarinya padahal tidak semua mata pelajaran itu berkaitan dengan kebutuhan hidupnya. Cukuplah pembelajar-pembelajar muda Indonesia belajar sesuai dengan keahlian yang dapat membawanya sukses menuju kebahagiaan lahir dan batinnya.
Matematika, Bahasa, dan Seni
Fakta menunjukkan bahwa pertumbuhan ilmu pengetahuan, teknologi, ekonomi, dan kebudayaan telah berkembang pesat di lebih dari satu dekade sejak masuknya Era Reformasi di Indonesia. Maka dari itu, agar bangsa Indonesia tidak selalu tertinggal dengan bangsa yang lain di bidang-bidang yang disebutkan tadi, pendidikan yang mengorientasikan pada pemenuhan kebutuhan berdasarkan keahlian masing-masing dari pembelajar-pembelajar Indonesia harus segera direalisasikan dan dikuatkan pondasinya. Adapun pondasi dasar keilmuan masyarakat Indonesia yang harus segera dikuatkan, secara filosofis terbagi dalam tiga hal, yaitu logika, etika, dan estetika.
Penguatan pondasi logika adalah dengan mempelajari ilmu “matematika”. Ilmu tentang angka-angka ini jangan dimaknai sebagai ilmu hitung-hitungan dan kalkulasi dari penambahan, pengurangan, perkalian, dan juga pembagian saja. Ilmu ini (matematika/aritmatika) adalah aplikasi dari logika manusia. Sadar atau tidak, penciptaan teknologi-teknologi mutakhir yang ada di negara-negara maju seperti Jepang dan Amerika adalah dikarenakan logika mereka yang mumpuni untuk memikirkan hal-hal yang awalnya tidak mungkin dilakukan manusia di zaman dahulu dengan menerjemahkan angka-angka tersebut menjadi bentuk yang “unik” dan “berbeda”. Logika-lah yang mengantarkan manusia pada perkembangan sains dan teknologi yang super duper canggih, yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya.
Selanjutnya, penguatan pondasi etika adalah dengan mempelajari ilmu “bahasa”. Ilmu tentang kumpulan kata, frasa, klausa, kalimat, bahkan wacana –yang akhirnya bertujuan sebagai alat komunikasi– ini jangan dimaknai sebagai ilmu mendengarkan/menyimak, berbicara, membaca, dan menulis saja. Ilmu ini (bahasa) adalah ilmu para pujangga sekaligus orator dan ulama-ulama dari masa ke masa. Lewat kata-kata yang terangkai indah, ilmu ini sudah menjelajah dari satu dimensi ke dimensi yang lain. Menggugah hati, mengobarkan semangat di dalam diri. Maka tidak salah bila ada peribahasa mengatakan, “ajining diri dumunung ana ing lathi”, yang berarti kepribadian yang murni ada dalam ucapan/kata. Peribahasa Jawa (red: paribasan) tersebut menunjukkan bahwa etika atau karakter kesantunan dan kesopanan atas norma yang berlaku bagi manusia, ada pada kata-kata dari manusia itu sendiri; ada pada pengucapan, penggunaan, dan pemilihan kalimat (diksi) dari manusia itu sendiri. Manusia akan dikatakan baik apabila cara berkatanya santun dan isi atau konten dari perkataannya juga sopan dan terjaga.
Terakhir, penguatan pondasi estetika tentunya dengan mempelajari ilmu “seni/kesenian”. Ilmu tentang pengungkapan keindahan dan keelokan ini jangan dimaknai sebagai ilmu seni rupa, seni musik, seni tari, dan seni bermain peran saja. Ilmu ini (seni/kesenian) adalah ilmu yang berkaitan dengan perasaan dan kejiwaan manusia. Ilmu ini juga sudah menjelajah ke penglihatan manusia, perabaan tangan manusia, gerak dan liuk tubuh manusia, serta pendengaran yang mencipta nuansa harmonis di jiwa. Seni adalah keluaran; keluaran hasrat, emosi, dan gairah kebaikan manusia. Oleh karena itu, tidak mengherankan bila setelah kita menyaksikan pertunjukkan seni, hati dan jiwa kita akan syahdu dan tergugah.
Indonesia Emas yang Seperti Apa?
Dengan memadukan “Pendidikan yang Manusiawi” tadi dengan Matematika yang Baik, Bahasa yang Santun, serta Seni yang Benar”, bangsa ini diharapkan mampu mewujudkan satu generasi emas berdasarkan cita-cita lampau kemerdekaan Indonesia di tahun 1945, yakni sebuah “Peradaban yang Mulia” yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan berbangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.
Akhirnya, setelah memahami konsep di atas tadi, mari kita bersama-sama merealisasikannya, tentunya dengan tidak lupa untuk melaksanakan “Pendidikan Agama” dan “Pendidikan Pancasila” secara menyeluruh di semua jenjang pendidikan. “Pendidikan Agama” diperlukan untuk menjaga moral dan sisi religiusitas pembelajar-pembelajar Indonesia agar terhindar dari sifat takabur yang berujung pada perilaku destruktif dan koruptif. Adapun “Pendidikan Pancasila” bertujuan agar kita semakin memahami bahwa Indonesia adalah bangsa yang majemuk, sehingga ke depannya, tidak ada lagi pertentangan dan pertikaian yang berkaitan dengan masalah suku, antargolongan, ras, dan agama.



[1]Belferik Manulang, Grand Desain Pendidikan Karakter Generasi Emas 2045, Jurnal Pendidikan Karakter, Tahun III, Nomor 1, Februari 2013, halaman 2

Minggu, 09 November 2014

Pengembangan Pendidikan Karakter melalui Mata Pelajaran Muatan Lokal di Sekolah

Pengembangan Pendidikan Karakter melalui Mata Pelajaran Muatan Lokal di Sekolah
Oleh. Nurul Rahmawati

Kemunculan Pendidikan Karakter
Dimulai pasca hiruk-pikuk ujian nasional tahun 2010 yang kemudian semakin berkembang menjadi salahsatu solusi yang dianggap paling tepat untuk mengatasi permasalahan UN tak kunjung selesai. Seperti sebuah air di padang pasir yang gersang, pendidikan karakter telah membuat berbagai pihak dapat kembali berharap bahwa pendidikan dan UN akan berjalan selaras seperti yang telah dicita-citakan sejak dahulu. Ujian Nasional telah menjadi salahsatu standar yang digunakan oleh pemerintah untuk mengukur keberhasilan siswa dalam menempuh pendidikan, baik di Sekolah Dasar sampai ke jenjang Sekolah Menengah Atas. Pendidikan karakter ini diharapkan dapat membantu mengatasi permasalahan dan pemerintah harus mengambil berbagai konsekuensi agar pendidikan karakter tak hanya muncul sebagai angin segar tetapi harus ada realisasi nyata seperti dengan meninjau ulang kurikulum yang berlaku saat ini. Akhirnya dengan proses dan waktu yang tidak singkat tentunya, pemerintah telah memcanangkan kurikulum baru yaitu Kurikulum 2013 yang memuat dan memberikan ruang bagi pengembangan pendidikan karakter di sekolah agar peserta didik mampu menjadi generasi yang lebih baik lagi.
Apa itu  Karakter?
Karakter adalah pisau bermata dua. Yang berarti setiap karakter memiliki dua sisi yang saling bertolak belakang. Anak yang berkeyakinan tinggi akan memiliki dua kemungkinan yang berbeda dan berlawanan. Kemungkinan pertama dia akan berani karena kayakinan yang dimilikinya dan kemungkinan yang lain dia akan meremehkan segala sesuatu bahkan tidak perhitungan karena dia terlalu yakin pada dirinya sendiri (Munir, 2010: xii). Nah di sinilah sebenarnya titik pentingnya pendidikan karakter, setiap anak memiliki karakter masing-masing dan karakter ini dapat dibentuk melalui pendidikan sejak dini, mulai dari lingkungan keluarga dan berkelanjutan sampai di bangku sekolah. Pendidikan karakter yang berkelanjutan ini bertujuan untuk mengembangkan karakter anak secara maksimal guna membangun mental dan kepribadian yang baik serta menumbuhkan karakter positif.
Seperti pendapat Munir di atas, sebenarnya tujuan pendidikan karakter bila dilihat lebih jauh adalah mengembangkan karakter anak, dan karakter ini memiliki dua sisi yang mengarah ke positif dan negatif, sehingga pendidikan karakter hanya akan menumbuhkan karakter dari sisi yang mengarah ke positif dan meminimalisir adanya pengembangan karakter dari sisi yang negatif. Hal ini dimulai dari pendidikan di lingkungan keluarga misalnya mengembangkan rasa malu untuk menumbuhkan kesopanan bukan untuk menumbuhkan rasa minder. Kemudian di bangku sekolah mulai diajarkan bahwa anak harus percaya diri dan yakin dengan kebenaran dan memakai cara yang benar untuk meyelesaikan suatu permasalahan yang ada di lingkungan sekitarnya.
Pentingnya Pendidikan Karakter
Di tengah derasnya arus globalisasi dan maraknya korupsi, tawuran antarpelajar serta konflik lainnya, bangsa ini membutuhkan alat yang dapat menekan dan mengurangi berbagai konflik yaitu pendidikan yang berbasis nilai moral serta karakter bangsa. Tak bisa dipungkiri lagi, generasi muda kita saat ini telah mengalami degradasi moral, dimana mereka tak lagi menunjukkan sikap dan nilai-nilai yang baik dan tidak mencerminkan kepribadian sebagai warganegara Indonesia. Tidak hanya sampai disitu generasi muda kita juga tak lagi memiliki tata karma, etika dan moral yang baik. Untuk itu, kedudukan pendidikan karakter di dalam dunia pendidikan ini sangat penting dan pendidikan karakter sengaja dihadirkan di tengah-tengah pendidikan tanah air sebagai salahsatu solusi yang jitu untuk menyelesaikan berbagai permasalahan yang tengah dihadapi negeri ini. Pendidikan karakter sebenarnya telah ada sejak lama, dan dalam sistem pendidikan kita sebelumnya telah ada nilai-nilai karakter yang masuk ke dalam kurikulum meskipun tidak tersurat dan dalam prakteknya belum memberikan hasil yang dapat dilihat oleh mata kita. Pendidikan karakter pada dasarnya merupakan pembentukan karakter yang baik yang diinginkan oleh seseorang kepada peserta didik agar mereka dapat berkembang sesuai dengan lingkungan dan dapat bersikap, bertingkah laku yang sesuai di dalam masyarakat. Pembentukan karakter ini sangat penting karena pendidikan sendiri tidak pernah terpisahkan dari pembentukan karakter, keduanya seperti tulang dan daging yang saling melengkapi. Pendidikan tanpa pembentukan karakter tidak akan pernah menghasilkan individu yang baik begitu juga pembentukan karakter tanpa pendidikan adalah sia-sia. Pada dasarnya pembentukan karakter ini adalah kebiasaan yang baik yang diulang-ulang sehingga akan tertanam dalam individu sehingga kebiasaan ini akan menjadi karakter yang melekat kuat dan tidak mudah tergoyahkan. Pembentukan karakter memang tidak mudah perlu adanya pengertian, pengetahuan dan internalisasi dalam diri individu dengan baik dan benar.
Muatan Lokal Sebagai Salahsatu Pendidikan Karakter di Sekolah
Pendidikan adalah proses enkulturasi dimana manusia belajar memahami dan mengadaptasi pola pikir, pengetahuan dan kebudayaan suatu kelompok manusia (Muslich, 2011: 44). Dari pengertian di atas dapat dikaitkan bahwa proses enkulturasi di lembaga pendidikan formal seperti sekolah dapat diambil dari mata pelajaran muatan lokal yang sesuai dengan daerahnya masing-masing. Manusia dapat mempelajari kebudayaan masyarakat sekitarnya dari pengembangan mata pelajaran muatan lokal yang telah disetujui oleh tiap-tiap daerah di seluruh Indonesia. Sehingga dapat dipastikan bahwa peserta didik dapat mengembangkan dirinya sesuai dengan muatan lokal di daerahnya masing-masing. Sedangkan pengertian muatan lokal sendiri menurut PERMENDIKBUD RI No. 81A Tahun 2013, muatan lokal adalah bahan kajian pada suatu pendidikan yang berisi muatan dan proses pembelajaran tentang potensi dan keunikan lokal yang dimaksudkan untuk membentuk pemahaman peserta didik terhadap potensi daerah tinggalnya. Sedangkan jenis muatan lokal dapat berupa: bahasa daerah, bahasa Inggris, kesenian daerah, keterampilan dan kerajinan daerah, adat istiadat, dan pengetahuan tentang berbagai ciri khas lingkungan alam sekitar, serta hal-hal yang dianggap perlu untuk pengembangan potensi daerah yang bersangkutan.
Selain untuk pengembangan potensi daerah di tingkat lokal, muatan lokal yang diajarkan di sekolah juga memberikan berbagai gambaran dan manfaat dalam pembentukan karakter, nilai dan moral yang berkembang di dalam masyarakat di lingkungan mereka. Secara praktek, mata pelajaran muatan lokal ini sangat mendukung pengembangan peserta didik khususnya sikap/afektif yang kemudian dapat dilanjutkan ke implementasinya yaitu psikomotorik. Sehingga pembentukan karakter, nilai dan moral yang baik akan terbentuk karena kebiasaan yang telah ditanamkan melalui mata pelajaran ini dan kemudian juga diimplementasikan di dalam masyarakat. Pengembangan muatan lokal juga akan membantu peserta didik dalam bersikap dan berperilaku sesuai dengan adat istiadat, kebiasaan bahkan norma-norma yang ada di dalam masyarakat, dimana peserta didik jika lulus dari pendidikannya akan menjadi generasi penerus yang berkualitas tidak hanya cerdas, berpendidikan, namun juga memiliki karakter yang kuat. Jika muatan lokal dapat dikembangkan seperti di atas, maka pendidikan negeri ini akan menghasilkan generasi emas yang tak hanya cerdas, berkarakter kuat tetapi juga berakhlak mulia. Untuk itu, muatan lokal di daerah-daerah harus memiliki visi yang sama yaitu mengembangkan potensi lokal dan juga mengembangkan sumberdaya manusia lokal yang berkarakter kuat sesuai dengan adat istiadat serta kebudayaan lokal yang dimilikinya.

Referensi :
Abdullah Munir. 2010. Pendidikan Karakter: Membangun Karakter Anak Sejak Dari Rumah. Yogyakarta: Pedagogia.
Masnur Muslich. 2011. Pendidikan Karakter Menjawab Tantangan Krisis Multidimensional. Jakarta: Bumi Aksara.

PERMENDIKBUD RI No. 81A Tahun 2013 Tentang Implementasi Kurikulum.