Kamis, 18 September 2014

Berawal dari Sila Pertama

Berawal dari Sila Pertama
*) oleh Rio Tri Handoko

“Bukan saja bangsa Indonesia ber-Tuhan, tetapi masing-masing orang Indonesia hendaknya ber-Tuhan. Tuhannya sendiri. Yang Kristen Menyembah Tuhan menurut Isa al-Masih, yang Islam menurut petunjuk Nabi Muhammad S.A.W., orang Budha menjalankan ibadatnya menurut kitab-kitab yang ada padanya. Tetapi marilah kita semuanya ber-Tuhan. Hendaknya negara Indonesia ialah negara yang tiap-tiap orang dapat menyembah Tuhannya dengan cara yang leluasa. Segenap rakyat hendaknya ber-Tuhan secara kebudayaan, yakni dengan tiada ‘egoisme-agama’. Dan hendaknya negara Indonesia satu negara yang bertuhan”. (Pidato Soekarno 1 Juni 1945).
Pernyataan di atas merupakan ungkapan Bung Karno dalam pidatonya. Ia menegaskan bahwa tidak cukup dengan Indonesia menjadi negara yang memiliki Tuhan. Namun, tiap-tiap orang yang ada di negara ini seharusnya pun memiliki Tuhan sebagai mana yang telah dipercaya.

Indonesia Kini
Sudah enam puluh sembilan tahun silam Indonesia terbebas dari belenggu tangan-tangan nakal dan tak bermoral. Bangsa ini tidak lagi menjadi kacung dari orang-orang yang keji dan bengal. Semua kisah kelam itu telah lenyap dan terpental. Seiring kisah rodi dan romusha yang bermigrasi dari kebun-kebun Belanda serta jalanan milik kolonial Jepang menuju toko-toko buku yang ber-genre sejarah. Lalu, semua orang pun berteriak, “merdeka, merdeka, dan merdeka!”
Sampai tibalah masa sekarang. Tentang kisah perjuangan yang masih saja terulang. Meskipun hari ini bukanlah enam puluh sembilah tahun silam. Namun, kata merdeka masih saja terkekang. Genderang perang masih saja ditabuh. Kata menang masih terasa jauh. Anak-anak kecil masih merengek karena belum mendapat sesuap nasi. Ibu-ibu menangis pilu hanya memikirkan tentang cara membeli susu. Lalu para bapak merasa bingung tentang apa yang harus dibawa pulang.
Indonesia memang sudah merdeka. Namun, tidak semua orang merasa merdeka. Banyak anak-anak pergi ke sekolah dengan mobil mewah. Namun, banyak pula anak-anak berangkat ke sawah saat jam sekolah. Para pejabat memang menggunakan sepatu hitam yang mengkilap. Akan tetapi, anak-anak rela berjongkok sembari memegang sepatu hitam untuk disikat agar mengkilap.
Indonesia sudah tidak ada lagi kerja rodi. Akan tetapi, korupsi juga semakin menjadi-jadi. Bangsa ini pun sudah tidak mengenal istilah romusha. Namun, perkelahian dan tawuran di sekolah menjadi hal yang biasa. Banyak  orang berbondong-bondong untuk mengantri karena ada pembagian zakat. Namun,  banyak pula orang-orang yang berlarian pergi karena diminta membayar pajak. Politisi-politisi akan dianggap kuno, jika mereka tak mau bagi-bagi uang saat tiba jadwal kampanye.  Gedung-gedung memang berdiri tinggi dan terlihat kokoh, namul moral bangsa pun dilucuti dan banyak orang berpikiran masa bodoh.
Jika melihat ke belakang. Ada kata-kata bagus yang bisa dikenang. “Jangan kita membangun sambil merobohkan: membangun gedung sambil merobohkan akhlak, membangun industri sambil menindas pekerja, membina prasarana sambil memusnahkan lingkungan. “ itulah pesan Mohammad Natsir kepada Anwar Ibrahim yang pernah menjadi Wakil Perdana Menteri Malaysia (KPG, 2011: 144).
Natsir yang merupakan politisi di era Presiden Soekarno dan Presiden Soeharto pun menyadari, bahwa tak seharusnya kita terus menggerus moral dan akhlak bangsa dengan sibuk membangun gedung-gedung tak berarti. Tidak semestinya industri-industri terus berkembang, namun masih banyak pekerja yang merasa belum kenyang. Janganlah ada pejabat berteriak di depan layar kaca bahwa rakyat harus sejahtera. Namun, di belakang layar mereka tertawa karena hasil pajak bisa mereka embat.

Negara Pancasila
Negara ini berdiri berlandaskan Pancasila. Sebuah ideologi dan gagasan yang pas dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Dengan demikian, sudah seharusnya segala bentuk etika dan moral dalam menjalankan kehidupan berbangsa dan bernegara ini dilandaskan atas nilai-nilai yang ada di Pancasila. Oleh karena itu, nilai-nilai luhur yang terkadung dalam lima sila tersebut tidak hanya sampai pada konsep semata, melainkan tertuang dalam ruang kehidupan yang nyata.
Jangan sampai kita senang mengampanyekan pendidikan karakter. Namun, paham-paham sekuler dibiarkan terus berkembang. Sudah seharusnya bangsa ini ingat dengan apa yang Bung Karno sampaikan, bahwa tidak cukuplah negara ini saja yang bertuhan, tetapi orang-orang yang ada juga harus memiliki Tuhan. Bukankah ini negara yang berdasarkan Pancasila. Yaitu negara yang paham terhadap apa yang ada di sila pertama.
Indonesia adalah negara yang dikenal dengan segala bentuk keramahannya. Orang-orangnya yang senantiasa sopan dan santun  serta berbudaya. Oleh karena itu, janganlah ini hanya menjadi sebuah identitas belaka. Orang lain menganggap Indonesia penuh dengan rasa persaudaraan, namun fakta bicara tidak demikian. Sudah sepantasnya bangsa ini menjunjung rasa persaudaraan atas dasar nilai-nilai Kemanusiaan yang Adil dan Beradab.
Sabang sampai Merauke adalah bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dengan demikian, haram hukumnya ada perpecahan di dalam bangsa ini. Indonesia tidak pernah melakukan kesepakatan yang menyatakan ketidaksetujuannya terhadap sila ketiga. Oleh karena itu, persatuan Indonesia adalah harga mutlak yang harus didapat.
Sudah setengah abad lebih negara Indonesia memelihara budaya musyawarah dan mufakat. Mengembangkan semangat demokrasi seperti yang ada pada sila keempat. Maka dari itu, janganlah bersikap bodoh terhadap demokrasi. Sistem ini sudah lama berdiri. Seharusnya kita belajar dan terus memperbaiki. Bukan malah dijadikan tempat untuk berbuat keji. Mengaku menjadi politisi, tetapi pandai sekali ingkar janji.
Bangsa ini sudah sepakat bahwa keadilan adalah milik bersama. Kemerdekaan adalah milik warga Indonesia. Tidak semestinya wakil rakyat merasa nikmat, namun rakyat masih ada yang sekarat. Gedung-gedung bukan hanya milik orang-orang yang berkantong tebal, melainkan juga dimiliki oleh orang-orang berbaju kumal. Hukum bukan hanya berlaku untuk pencuri sandal jepit. Namun, juga berlaku bagi para pejabat yang hati nuraninya sudah sakit.

Berawal dari Sila Pertama
Ketuhanann Yang Maha Esa. Kalimat itu merupakan kalimat yang menunjukkan sila pertama dari lima sila yang ada. Hal itu membuktikan bahwa unsur ketuhanan adalah bagian terpenting dalam mendirikan sebuah negara yang bermoral dan berkarakter. Seperti yang disampaikan oleh Presiden pertama negara Indonesia, tidak cukup dengan hanya negaranya yang bertuhan, melainkan warganya juga harus bertuhan.
Saat orang-orang percaya dengan adanya Tuhan, maka mereka tahu bahwa ada sesuatu yang harus disembah dan dipatuhi. Mereka tahu bahwa  ada Dzat yang Maha Mendengar dan Maha Melihat. Ada Dzat yang menyuruh berbuat baik dan ada pula Dzat yang melarang berbuat jahat.  Dialah Tuhan. Tuhan semesta alam. Tuhan Yang Maha Esa. Ialah yang membuat kita takut untuk berbuat dosa dan berbuat jahat. Dialah yang meminta agar semua orang menebarkan kebaikan baik dalam bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Inilah alasan mengapa semua orang harus bertaqwa. Hal ini pulalah yang menjadi alasan mengapa negara harus beragama.
Tidak bisa pemuda-pemuda bangsa hanya diajarkan soal matematika. Namun, perkara agama tidak pernah didapat. Efeknya adalah mereka hanya bisa menghitung cepat. Akan tetapi, mereka tidak tahu bagaimana seharusnya bersikap ketika sudah menjadi pejabat. Korupsi dianggap layak dan hasil pajak juga ikut diembat.
Agama adalah sesuatu yang mutlak dan semua orang pun berhak. Agama itu menyeluruh, mengatur segala bentuk kehidupan. Mengajarkan bagaimana berketuhanan. Mengajak untuk selalu menjalin persaudaraan. Mencintai rasa persatuan. Memelihara musyarah dan mufakat serta menjunjung tinggi keadialan sosial.
Oleh karena itu, memberi ruang lebih terhadap pendidikan agama adalah bagian dari bagaimana mengamalkan Pancasila. Khususnya sila yang pertama. Selain itu, hal ini juga salah satu cara untuk melanjutkan perjuangan dari pendahulu-pendahulu kita yang sudah bersusah payah membuat sebuah landasan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.  Dengan demikian, berawal dari pengamalan di sila pertama, yaitu salah satunya dengan cara memperkuat pendidikan agama. Secara tidak langsung pengamalan-pengamalan di sila-sila berikutnya juga akan mengikuti, sehingga permasalahan-permasalahan yang ada di bangsa ini akan bisa  diminimalisasi atau bahkan teratasi.