Berawal
dari Sila Pertama
*) oleh Rio Tri Handoko
“Bukan saja
bangsa Indonesia ber-Tuhan, tetapi masing-masing orang Indonesia hendaknya
ber-Tuhan. Tuhannya sendiri. Yang Kristen Menyembah Tuhan menurut Isa al-Masih,
yang Islam menurut petunjuk Nabi Muhammad S.A.W., orang Budha menjalankan
ibadatnya menurut kitab-kitab yang ada padanya. Tetapi marilah kita semuanya
ber-Tuhan. Hendaknya negara Indonesia ialah negara yang tiap-tiap orang dapat
menyembah Tuhannya dengan cara yang leluasa. Segenap rakyat hendaknya ber-Tuhan
secara kebudayaan, yakni dengan tiada ‘egoisme-agama’. Dan hendaknya negara
Indonesia satu negara yang bertuhan”. (Pidato Soekarno 1 Juni 1945).
Pernyataan di
atas merupakan ungkapan Bung Karno dalam pidatonya. Ia menegaskan bahwa tidak cukup
dengan Indonesia menjadi negara yang memiliki Tuhan. Namun, tiap-tiap orang
yang ada di negara ini seharusnya pun memiliki Tuhan sebagai mana yang telah
dipercaya.
Indonesia
Kini
Sudah enam puluh
sembilan tahun silam Indonesia terbebas dari belenggu tangan-tangan nakal dan
tak bermoral. Bangsa ini tidak lagi menjadi kacung dari orang-orang yang keji
dan bengal. Semua kisah kelam itu telah lenyap dan terpental. Seiring kisah rodi dan romusha yang bermigrasi dari kebun-kebun Belanda serta jalanan
milik kolonial Jepang menuju toko-toko buku yang ber-genre sejarah. Lalu, semua orang pun berteriak, “merdeka, merdeka,
dan merdeka!”
Sampai tibalah
masa sekarang. Tentang kisah perjuangan yang masih saja terulang. Meskipun hari
ini bukanlah enam puluh sembilah tahun silam. Namun, kata merdeka masih saja
terkekang. Genderang perang masih saja ditabuh. Kata menang masih terasa jauh.
Anak-anak kecil masih merengek karena belum mendapat sesuap nasi. Ibu-ibu
menangis pilu hanya memikirkan tentang cara membeli susu. Lalu para bapak
merasa bingung tentang apa yang harus dibawa pulang.
Indonesia memang
sudah merdeka. Namun, tidak semua orang merasa merdeka. Banyak anak-anak pergi
ke sekolah dengan mobil mewah. Namun, banyak pula anak-anak berangkat ke sawah
saat jam sekolah. Para pejabat memang menggunakan sepatu hitam yang mengkilap.
Akan tetapi, anak-anak rela berjongkok sembari memegang sepatu hitam untuk
disikat agar mengkilap.
Indonesia sudah
tidak ada lagi kerja rodi. Akan
tetapi, korupsi juga semakin menjadi-jadi. Bangsa ini pun sudah tidak mengenal
istilah romusha. Namun, perkelahian
dan tawuran di sekolah menjadi hal yang biasa. Banyak orang berbondong-bondong untuk mengantri
karena ada pembagian zakat. Namun,
banyak pula orang-orang yang berlarian pergi karena diminta membayar
pajak. Politisi-politisi akan dianggap kuno, jika mereka tak mau bagi-bagi uang
saat tiba jadwal kampanye. Gedung-gedung
memang berdiri tinggi dan terlihat kokoh, namul moral bangsa pun dilucuti dan
banyak orang berpikiran masa bodoh.
Jika melihat ke
belakang. Ada kata-kata bagus yang bisa dikenang. “Jangan kita membangun sambil
merobohkan: membangun gedung sambil merobohkan akhlak, membangun industri
sambil menindas pekerja, membina prasarana sambil memusnahkan lingkungan. “
itulah pesan Mohammad Natsir kepada Anwar Ibrahim yang pernah menjadi Wakil
Perdana Menteri Malaysia (KPG, 2011:
144).
Natsir yang
merupakan politisi di era Presiden Soekarno dan Presiden Soeharto pun
menyadari, bahwa tak seharusnya kita terus menggerus moral dan akhlak bangsa
dengan sibuk membangun gedung-gedung tak berarti. Tidak semestinya
industri-industri terus berkembang, namun masih banyak pekerja yang merasa
belum kenyang. Janganlah ada pejabat berteriak di depan layar kaca bahwa rakyat
harus sejahtera. Namun, di belakang layar mereka tertawa karena hasil pajak
bisa mereka embat.
Negara
Pancasila
Negara ini
berdiri berlandaskan Pancasila. Sebuah ideologi dan gagasan yang pas dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Dengan demikian, sudah seharusnya
segala bentuk etika dan moral dalam menjalankan kehidupan berbangsa dan
bernegara ini dilandaskan atas nilai-nilai yang ada di Pancasila. Oleh karena
itu, nilai-nilai luhur yang terkadung dalam lima sila tersebut tidak hanya
sampai pada konsep semata, melainkan tertuang dalam ruang kehidupan yang nyata.
Jangan sampai
kita senang mengampanyekan pendidikan karakter. Namun, paham-paham sekuler
dibiarkan terus berkembang. Sudah seharusnya bangsa ini ingat dengan apa yang
Bung Karno sampaikan, bahwa tidak cukuplah negara ini saja yang bertuhan,
tetapi orang-orang yang ada juga harus memiliki Tuhan. Bukankah ini negara yang
berdasarkan Pancasila. Yaitu negara yang paham terhadap apa yang ada di sila
pertama.
Indonesia adalah
negara yang dikenal dengan segala bentuk keramahannya. Orang-orangnya yang
senantiasa sopan dan santun serta
berbudaya. Oleh karena itu, janganlah ini hanya menjadi sebuah identitas
belaka. Orang lain menganggap Indonesia penuh dengan rasa persaudaraan, namun
fakta bicara tidak demikian. Sudah sepantasnya bangsa ini menjunjung rasa
persaudaraan atas dasar nilai-nilai Kemanusiaan yang Adil dan Beradab.
Sabang sampai
Merauke adalah bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dengan demikian,
haram hukumnya ada perpecahan di dalam bangsa ini. Indonesia tidak pernah
melakukan kesepakatan yang menyatakan ketidaksetujuannya terhadap sila ketiga. Oleh
karena itu, persatuan Indonesia adalah harga mutlak yang harus didapat.
Sudah setengah
abad lebih negara Indonesia memelihara budaya musyawarah dan mufakat.
Mengembangkan semangat demokrasi seperti yang ada pada sila keempat. Maka dari itu,
janganlah bersikap bodoh terhadap demokrasi. Sistem ini sudah lama berdiri.
Seharusnya kita belajar dan terus memperbaiki. Bukan malah dijadikan tempat
untuk berbuat keji. Mengaku menjadi politisi, tetapi pandai sekali ingkar
janji.
Bangsa ini sudah
sepakat bahwa keadilan adalah milik bersama. Kemerdekaan adalah milik warga
Indonesia. Tidak semestinya wakil rakyat merasa nikmat, namun rakyat masih ada
yang sekarat. Gedung-gedung bukan hanya milik orang-orang yang berkantong
tebal, melainkan juga dimiliki oleh orang-orang berbaju kumal. Hukum bukan
hanya berlaku untuk pencuri sandal jepit. Namun, juga berlaku bagi para pejabat
yang hati nuraninya sudah sakit.
Berawal
dari Sila Pertama
Ketuhanann Yang
Maha Esa. Kalimat itu merupakan kalimat yang menunjukkan sila pertama dari lima
sila yang ada. Hal itu membuktikan bahwa unsur ketuhanan adalah bagian
terpenting dalam mendirikan sebuah negara yang bermoral dan berkarakter. Seperti
yang disampaikan oleh Presiden pertama negara Indonesia, tidak cukup dengan
hanya negaranya yang bertuhan, melainkan warganya juga harus bertuhan.
Saat orang-orang
percaya dengan adanya Tuhan, maka mereka tahu bahwa ada sesuatu yang harus
disembah dan dipatuhi. Mereka tahu bahwa ada Dzat
yang Maha Mendengar dan Maha Melihat. Ada Dzat
yang menyuruh berbuat baik dan ada pula Dzat yang melarang berbuat jahat. Dialah Tuhan. Tuhan semesta alam. Tuhan Yang
Maha Esa. Ialah yang membuat kita takut untuk berbuat dosa dan berbuat jahat.
Dialah yang meminta agar semua orang menebarkan kebaikan baik dalam
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Inilah alasan mengapa semua orang
harus bertaqwa. Hal ini pulalah yang menjadi alasan mengapa negara harus
beragama.
Tidak bisa pemuda-pemuda
bangsa hanya diajarkan soal matematika. Namun, perkara agama tidak pernah
didapat. Efeknya adalah mereka hanya bisa menghitung cepat. Akan tetapi, mereka
tidak tahu bagaimana seharusnya bersikap ketika sudah menjadi pejabat. Korupsi dianggap
layak dan hasil pajak juga ikut diembat.
Agama adalah
sesuatu yang mutlak dan semua orang pun berhak. Agama itu menyeluruh, mengatur
segala bentuk kehidupan. Mengajarkan bagaimana berketuhanan. Mengajak untuk
selalu menjalin persaudaraan. Mencintai rasa persatuan. Memelihara musyarah dan
mufakat serta menjunjung tinggi keadialan sosial.
Oleh karena itu,
memberi ruang lebih terhadap pendidikan agama adalah bagian dari bagaimana
mengamalkan Pancasila. Khususnya sila yang pertama. Selain itu, hal ini juga
salah satu cara untuk melanjutkan perjuangan dari pendahulu-pendahulu kita yang
sudah bersusah payah membuat sebuah landasan dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara. Dengan demikian, berawal dari
pengamalan di sila pertama, yaitu salah satunya dengan cara memperkuat
pendidikan agama. Secara tidak langsung pengamalan-pengamalan di sila-sila
berikutnya juga akan mengikuti, sehingga permasalahan-permasalahan yang ada di
bangsa ini akan bisa diminimalisasi atau
bahkan teratasi.