Ayo buruan ikut dan gabung menjadi panitia sidang umum PKnH 2014
Akun Resmi Himpunan Mahasiswa Pendidikan Kewarganegaraan dan Hukum Fakultas Ilmu Sosial UNY
Jumat, 19 Desember 2014
Kamis, 04 Desember 2014
OPTIMISME GURU PROFESIONAL DALAM PENERAPAN KURIKULUM 2013 CIPTAKAN GENERASI EMAS INDONESIA
OPTIMISME GURU PROFESIONAL DALAM PENERAPAN KURIKULUM 2013 CIPTAKAN
GENERASI EMAS INDONESIA
Oleh: Lu’lu’
Olivia Ningrum Kusuma Dewi
Modal besar yang ada di Indonesia adalah
potensi jumlah penduduk usia produktif yang
melimpah.
Saat ini jumlah penduduk Indonesia usia produktif (15-64 tahun) lebih banyak
dari usia tidak produktif (anak-anak berusia 0-14 tahun dan orang tua berusia
65 tahun ke atas). Jumlah penduduk usia produktif ini akan mencapai puncaknya
pada tahun 2020-2035 pada saat angkanya mencapai 70%. Oleh sebab
itu tantangan besar yang dihadapi Indonesia adalah bagaimana
mengupayakan agar sumber daya manusia
usia produktif yang melimpah ini dapat ditransformasikan menjadi sumber daya manusia yang memiliki kompetensi dan keterampilan
melalui pendidikan agar tidak menjadi beban. Usia produktif tersebut yang dinamakan generasi emas bagi bangsa Indonesia.
Generasi
emas tersebut harus dipersiapkan menjadi sumber daya manusia yang cerdas,
kompetitif, dan sebagai insan
berkarakter. Generasi
emas memainkan peranan penting dalam kelangsungan hidup berbangsa dan
bernegara. Karena sifatnya ini, generasi emas
menjadi kelompok yang potensial untuk mendukung pembangunan.
Namun,
di tangan siapakah generasi emas dapat terbentuk? Tentu banyak pihak yang
terlibat agar Indonesia memiliki generasi emas yang benar-benar handal untuk
membangun negara ini. Pihak-pihak
tersebut antara lain, pemerintah melalui program-programnya, orang tua yang
mendukung pendidikan anaknya, masyarakat yang menjadi lingkungan sehari-hari
bagi anak, dan tak kalah pula peran guru yang profesional dalam mendidik. Oleh
karena itu, guru adalah jembatan yang akan dilalui generasi emas untuk
membangun Indonesia menjadi negara yang dapat bersaing dengan negara-negara
maju. Jembatan, tidak tahu apa yang terjadi di
masa lalu dan tidak tahu
apa yang akan terjadi di masa depan, tapi akan berdiri kokoh menopang semua
yang melaluinya. Mungkin guru tidak tahu
apa yang akan terjadi di masa yang akan datang, khususnya apa yang akan terjadi pada peserta
didiknya, tetapi
guru dapat mengantarkan peserta
didik menjadi generasi terbaik bagi masa
depan.
Guru
yang optimis dan profesional
dalam keprofesiannya dapat mempersiapkan peserta didik menjadi “Generasi Indonesia
Emas 2045”. Menurut
UU No. 20
tahun 2003 pasal 39 ayat 2, pendidik
merupakan tenaga profesional yang bertugas merencanakan dan melaksanakan proses
pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, melakukan pembimbingan dan pelatihan,
serta melakukan penelitian dan pengabdian kepada masyarakat, terutama bagi pendidik
pada perguruan tinggi. Dari pengertian tersebut dapat kita ambil kesimpulan bahwa peran
guru profesional adalah mempersiapkan peserta didik menjadi warga negara yang
baik. Dalam
hal ini dapat ditarik benang merah bahwa
dalam peranannya sebagai ujung tombak
pendidikan, guru wajib memiliki kualifikasi
akademik, sertifikasi pendidik, kompetensi, dan yang utama adalah mampu
mewujudkan tujuan pendidikan nasional secara khususnya dan tujuan nasional
secara umumnya.
Tugas
baru pendidikan untuk mencetak
generasi emas 2045 harus diikuti dengan
profesionalisme guru, yang kunci utamanya terletak pada guru dan pendidikan
guru yang bermutu. Guru bermutu menjadi variabel penting bagi terwujudnya
pendidikan yang bermutu. Kebermutuan
guru dapat dibuktikan dengan pelaksanaan tugasnya di lapangan,
terutama ketika mengajar. Guru yang bermutu dapat menerapkan berbagai model
pembelajaran yang sesuai dengan tingkat perkembangan peserta didik,
heterogenitas peserta didik, dan lingkungan tempat tinggal peserta didik. Saat
ini sudah banyak model, strategi, pendekatan, dan metode dalam pembelajaran
yang dikembangkan sesuai dengan kebutuhan peserta didik. Guru adalah kunci
untuk menerapkan itu semua sehingga pada akhirnya peserta didik dapat memahami
materi yang diajarkan dengan baik. Tak hanya memahami, peserta didik diharapkan
dapat menerapkan apa yang telah dipelajari di sekolah dalam kehidupan
sehari-hari, sehingga materi-materi yang diajarkan di sekolah sangat terasa
kebermanfaatannya.
Secara
akademis, riset membuktikan bahwa setiap anak lahir dengan potensinya
masing-masing. Tugas pendidikan adalah mengupayakan agar anak bisa mengenal
potensi dirinya, sedangkan pendidikan berperan memberikan fasilitas agar mereka
dapat mengembangkan potensinya, baik bidang akademik maupun potensi
nonakademik, seperti seni dan olahraga. Namun, berdasarkan data
dari Trends in International Math and Science Survey tahun
2007 disebutkan bahwa hanya 5% siswa Indonesia yang dapat mengerjakan soal
berkategori advance yang memerlukan reasoning.
Dalam perspektif lain, 78% siswa Indonesia hanya dapat mengerjakan soal
berkategori rendah yang semata hanya memerlukan knowing dan
hafalan. Dari sinilah perlunya mengembangkan kurikulum yang menuntut penguasaan
reasoning.
Pengembangkan
kurikulum dalam sistem pendidikan Indonesia adalah pendidikan yang dapat mengantarkan generasi
masa kini menjadi generasi emas Indonesia 2045. Terlebih lagi pencanangan generasi
emas tahun pertama juga telah dibarengi dengan revitalisasi pendidikan
karakter. Kurikulum 2013 adalah kurikulum
yang terintegrasi antara satu mata pelajaran dengan mata pelajaran yang lain,
sehingga memiliki keterkaitan dan tidak terkotak-kotak seperti kurikulum
sebelumnya. Kurikulum 2013 juga mengembangkan aspek kognitif, afektif, dan
psikomotor secara seimbang melalui scientific
approach. Pengintegrasian tersebut merupakan langkah yang tepat agar
peserta didik dapat menemukan korelasi antara satu materi dengan materi lain.
Pendidikan yang terintegrasi jika diterapkan akan serasi
antara proses dan produk karena keduanya
mendapatkan porsi nilai yang seimbang. Hal tersebut membuat peserta didik lebih
mudah menerapkan segala hal yang telah diperoleh dari pendidikan. Selain itu dalam mengintegrasikan mata pelajaran satu
dengan mata pelajaran lain disisipkan pula pendidikan karakter dengan harapan
agar peserta didik selain menjadi manusia yang intelektual juga dapat menjadi
manusia yang berakhlak mulia.
Berdasarkan
hasil kajian terdapat 18 nilai-nilai kebaikan yang akan disemaikan kepada
peserta didik melalui pendidikan karakter.
18 nilai tersebut antara lain religius, kejujuran,
toleransi, disiplin, kerja keras, kreatif, mandiri, demokratis, rasa ingin
tahu, semangat kebangsaan, cinta tanah air, menghargai prestasi,
bersahabat/komunikatif, cinta damai, gemar membaca, peduli akan lingkungan,
peduli sosial,
dan bertanggung jawab. Untuk
itu, Kurikulum 2013 adalah kurikulum yang diharapkan
dapat menjawab tantangan masa depan, yaitu mempersiapkan
manusia Indonesia agar memiliki kemampuan hidup sebagai pribadi dan warga
negara yang beriman, produktif, kreatif, inovatif, dan afektif, serta mampu
berkontribusi pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, bernegara, dan peradaban
dunia. Untuk mempersiapkan manusia Indonesia yang memiliki
sifat-sifat tersebut harus dimulai dari pendidikan dasar. Dalam
Kurikulum 2013 untuk sekolah dasar, kompetensi dikembangkan melalui tematik
integratif dalam semua mata pelajaran. Kompetensi dasar dirumuskan untuk
mencapai kompetensi inti. Rumusan kompetensi dasar dikembangkan dengan
memperhatikan karakteristik peserta didik, kemampuan awal, serta ciri dari
suatu mata pelajaran.
Kompetensi dasar dibagi menjadi empat kelompok sesuai dengan pengelompokkan
kompetensi inti, yaitu kompetensi
dasar sikap spiritual, kompetensi
dasar sikap sosial, kompetensi
dasar pengetahuan, dan kompetensi
dasar keterampilan.
Namun,
apapun model pembelajaran dan bagaimana sistem pendidikan yang diterapkan di
Indonesia, guru yang profesional dan selalu optimis adalah ujung tombak bagi
pembentukan generasi emas yang dapat membangun Indonesia menjadi lebih baik di
masa depan. Optimisme guru dalam penerapan Kurikulum 2013 akan menjadi lebih
bermakna bila menjadikan karakter peserta didik sesuai dengan karakter bangsa
Indonesia yang penuh dengan nilai-nilai luhur. Lebih dari kata profesional,
saat ini Indonesia membutuhkan guru yang dapat mengajar dengan hati nurani,
yaitu guru yang dapat mendedikasikan dirinya untuk mendidik di mana pun, kapan
pun, dan apapun kondisinya.
Pendidikan yang Manusiawi untuk Mewujudkan Generasi Emas Indonesia
Pendidikan yang Manusiawi untuk Mewujudkan Generasi Emas Indonesia
oleh: Andreas Agil
Munarwidya
Wajib Belajar?
Perlu dipahami dengan
saksama bahwa pendidikan di Indonesia terbagi ke dalam tiga jalur utama, yaitu
formal, nonformal, dan informal.
Pendidikan formal adalah pendidikan yang diselenggarakan di sekolah-sekolah pada umumnya.
Jalur pendidikan ini mempunyai jenjang pendidikan yang jelas, mulai dari
pendidikan dasar, pendidikan menengah, sampai pendidikan tinggi.
Pendidikan nonformal paling banyak terdapat pada usia dini, serta pendidikan dasar, adalah
TPA, atau Taman Pendidikan Al Quran,yang banyak terdapat di setiap masjid dan Sekolah
Minggu, yang terdapat di semua gereja. Selain itu, ada juga berbagai kursus, diantaranya kursus
musik, bimbingan belajar dan sebagainya.
Pendidikan informal adalah jalur pendidikan keluarga dan
lingkungan berbentuk kegiatan belajar secara mandiri yang dilakukan secara
sadar dan bertanggung jawab.
(wikipedia.org)
Oleh karena itu, ketika kita harus berbicara ihwal pendidikan
di Indonesia, sebenarnya kita wajib mengikutsertakan pemahaman akan jalur
utama pendidikan Indonesia di atas tadi. Namun, kenyataan yang terjadi saat ini
memaparkan pada kita semua bahwa pendidikan yang terus dikembangkan dan sering
mendapatkan perhatian lebih hanya terpusat pada penguatan-penguatan di wilayah
pendidikan formalnya. Sadar atau tidak, inilah penyebab kegagalan kita dalam
merumuskan pendidikan yang baik untuk bangsa Indonesia, karena ternyata kita
lalai dan lupa bahwa pendidikan di Indonesia tidak hanya berada pada
ruang-ruang kelas, sekolah, kampus, dan atauuniversitas.
Penguatan di wilayah pendidikan formal seharusnya juga
diseimbangkan dengan penguatan di wilayah pendidikan nonformal dan pendidikan
informal. Penanaman karakter berupa logika yang baik, etika yang santun, serta
estetika yang benar harus dihadirkan di dalam ruang-ruang
pendidikan nonformal terlebih di pendidikan informal. Kita kerap mendengar
bahwa pendidikan yang baik adalah pendidikan yang dimulai sejak dini atau sejak
kita masih berada dipangkuan kedua orang tua kita. Akan tetapi, kenyataan yang
ada di lapangan menunjukkan bahwa pendidikan anak di rumah banyak yang
terabaikan. Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) juga seolah-olah dijadikan sebagai
Pendidikan Anak... “karena masih terlalu
dini, ya sudah, dibuat apa adanya saja”.
Di sisi lain, kewajiban
belajar masyarakat Indonesia tereduksi dengan “perintah” wajib belajar 9 tahun.
Alih-alih mencerdaskan kehidupan bangsa, program wajib belajar 9 tahun hanya
menjadikan pembelajar muda Indonesia terjerumuskan pada pola pikir: “yang
penting sudah belajar 9 tahun”. Alhasil, hanya capaian tahunnya (baca:
kuantitas) saja yang terlaksana, tetapi pada kenyataannya minim dengan capaian
keahlian dari sumber daya manusia yang sudah belajar 9 tahun itu (baca:
kualitasnya). Padahal, untuk memajukan bangsa yang kuat ini, kita membutuhkan
sumber daya manusia yang berkarakter kuat lewat pendidikan itu sendiri.
Faktor determinan membangun
kehidupan yang lebih
baik, termasuk kehidupan berbangsa adalah sumber daya
manusia (SDM). Wilson dan
Ernesto (Davis, 1990:1) mengatakan
bahwa sentra utama kehidupan adalah
SDM. Mereka mengatakan: “If you dig very deeply into any problem, you will
get people. The
human being is the
center and yardstick of everything”.[1]
Apa jadinya bila selama
ini pendidikan hanya dianggap formalitas saja? Akhirnya tidak mengherankan bila
lahir pula generasi penerus yang sama –bahkan mungkin jauh lebih buruk– karena
generasi sebelumnya gagal mencerna pendidikan sebagai sebuah kebutuhan primer,
bukan hanya di wilayah formal, melainkan juga di wilayah nonformal terlebih
lagi di wilayah informal.
Pendidikan yang
Sesuai dengan Kebutuhan Manusia
Banyak arti dan definisi dari pendidikan –bahkan terlalu
banyak. Akan tetapi, pendidikan yang didefinisikan beragam dan bermacam itu
akhirnya sekedar menjadi wacana bisu yang semakin menenggelamkan masyarakat
pada diskusi-diskusi abstrak tentang arti dari sebuah pendidikan. Masih banyak
manusia-manusia Indonesia yang terbelakang dan tertinggal pendidikannya bukan
karena program-program pendidikan dari pemerintah yang tidak bagus. Bukan.
Keterbelakangan dan ketertinggalannya bangsa kita di bidang pendidikan lebih
dipengaruhi oleh cara pandang kita dalam memaknai pendidikan itu sendiri. Tidak
dapat dipungkiri bahwa manusia membutuhkan pendidikan untuk mencerdaskan
pemikirannya guna didayagunakan untuk kesejahteraannya dalam rangka mencari
pekerjaan ataupun penghidupan agar mencapai kebahagiaan dalam hidupnya lahir
maupun batin. Akan tetapi, fakta di lapangan menjawab bahwa proses pendidikan
yang dilakukan oleh bangsa kita saat ini tidak benar-benar aplikatif alias
tidak mengantarkan kita pada pemenuhan kebutuhan untuk saat ini dan untuk masa
yang akan datang.
Lalu, pendidikan yang bagaimana yang dapat memenuhi harapan
tersebut di atas? Jawabannya adalah “pendidikan yang manusiawi”: pendidikan
yang menjadikan manusia menjadi sejatinya manusia (humanis) dengan mendorong
manusia supaya mendayagunakan akal dan budinya demi terciptanya kedamaian dan
kesejahteraan bersama. Pendidikan ini menitikberatkan pada pemenuhan kebutuhan
lahir batin manusia sebagai subjek sekaligus objek dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Pendidikan yang memberikan kepastian
visi dengan hasil akhir berupa manusia-manusia merdeka yang mampu hidup dengan
keahliannya untuk memenuhi kebutuhan hidupnya bukan dengan saling menjatuhkan
dan memperkaya diri sendiri, melainkan dengan tolong menolong, yang mampu
membantu yang kurang mampu, dengan berasaskan perikemanusiaan dan perikeadilan.
Pembelajar-pembelajar muda Indonesia tidak perlu dibebani dengan banyak mata
pelajaran yang harus dipelajarinya padahal tidak semua mata pelajaran itu
berkaitan dengan kebutuhan hidupnya. Cukuplah pembelajar-pembelajar muda
Indonesia belajar sesuai dengan keahlian yang dapat membawanya sukses menuju
kebahagiaan lahir dan batinnya.
Matematika,
Bahasa, dan Seni
Fakta menunjukkan bahwa pertumbuhan ilmu pengetahuan,
teknologi, ekonomi, dan kebudayaan telah berkembang pesat di lebih dari satu
dekade sejak masuknya Era Reformasi di Indonesia. Maka dari itu, agar bangsa
Indonesia tidak selalu tertinggal dengan bangsa yang lain di bidang-bidang yang
disebutkan tadi, pendidikan yang mengorientasikan pada pemenuhan kebutuhan
berdasarkan keahlian masing-masing dari pembelajar-pembelajar Indonesia harus
segera direalisasikan dan dikuatkan pondasinya. Adapun pondasi dasar keilmuan
masyarakat Indonesia yang harus segera dikuatkan, secara filosofis terbagi
dalam tiga hal, yaitu logika, etika, dan estetika.
Penguatan pondasi logika adalah dengan mempelajari ilmu “matematika”.
Ilmu tentang angka-angka ini jangan dimaknai sebagai ilmu hitung-hitungan dan
kalkulasi dari penambahan, pengurangan, perkalian, dan juga pembagian saja.
Ilmu ini (matematika/aritmatika) adalah aplikasi dari logika manusia. Sadar
atau tidak, penciptaan teknologi-teknologi mutakhir yang ada di negara-negara
maju seperti Jepang dan Amerika adalah dikarenakan logika mereka yang mumpuni
untuk memikirkan hal-hal yang awalnya tidak mungkin dilakukan manusia di zaman
dahulu dengan menerjemahkan angka-angka tersebut menjadi bentuk yang “unik” dan
“berbeda”. Logika-lah yang mengantarkan manusia pada perkembangan sains
dan teknologi yang super duper canggih,
yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya.
Selanjutnya, penguatan pondasi etika adalah dengan
mempelajari ilmu “bahasa”. Ilmu tentang kumpulan kata, frasa, klausa,
kalimat, bahkan wacana –yang akhirnya bertujuan sebagai alat komunikasi– ini
jangan dimaknai sebagai ilmu mendengarkan/menyimak, berbicara, membaca, dan
menulis saja. Ilmu ini (bahasa) adalah ilmu para pujangga sekaligus orator dan
ulama-ulama dari masa ke masa. Lewat kata-kata yang terangkai indah, ilmu ini
sudah menjelajah dari satu dimensi ke dimensi yang lain. Menggugah hati,
mengobarkan semangat di dalam diri. Maka tidak salah bila ada peribahasa
mengatakan, “ajining diri dumunung ana
ing lathi”, yang berarti kepribadian yang murni ada dalam ucapan/kata.
Peribahasa Jawa (red: paribasan) tersebut menunjukkan bahwa etika atau karakter
kesantunan dan kesopanan atas norma yang berlaku bagi manusia, ada pada
kata-kata dari manusia itu sendiri; ada pada pengucapan, penggunaan, dan
pemilihan kalimat (diksi) dari manusia itu sendiri. Manusia akan dikatakan baik
apabila cara berkatanya santun dan isi atau konten dari perkataannya juga sopan
dan terjaga.
Terakhir, penguatan pondasi estetika tentunya dengan
mempelajari ilmu “seni/kesenian”. Ilmu tentang pengungkapan keindahan dan
keelokan ini jangan dimaknai sebagai ilmu seni rupa, seni musik, seni tari, dan
seni bermain peran saja. Ilmu ini (seni/kesenian) adalah ilmu yang berkaitan
dengan perasaan dan kejiwaan manusia. Ilmu ini juga sudah menjelajah ke
penglihatan manusia, perabaan tangan manusia, gerak dan liuk tubuh manusia,
serta pendengaran yang mencipta nuansa harmonis di jiwa. Seni adalah keluaran;
keluaran hasrat, emosi, dan gairah kebaikan manusia. Oleh karena itu, tidak
mengherankan bila setelah kita menyaksikan pertunjukkan seni, hati dan jiwa
kita akan syahdu dan tergugah.
Indonesia Emas
yang Seperti Apa?
Dengan memadukan “Pendidikan yang Manusiawi” tadi dengan “Matematika
yang Baik”, “Bahasa
yang Santun”, serta “Seni yang Benar”, bangsa ini diharapkan mampu mewujudkan satu generasi emas berdasarkan cita-cita
lampau kemerdekaan Indonesia di tahun 1945, yakni sebuah “Peradaban yang Mulia” yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah
darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan berbangsa,
dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan
kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.
Akhirnya,
setelah memahami konsep di atas tadi, mari kita bersama-sama merealisasikannya,
tentunya dengan tidak lupa untuk melaksanakan “Pendidikan Agama” dan “Pendidikan Pancasila” secara menyeluruh di semua jenjang pendidikan. “Pendidikan Agama” diperlukan untuk menjaga moral dan sisi religiusitas
pembelajar-pembelajar Indonesia agar terhindar dari sifat takabur yang berujung
pada perilaku destruktif dan koruptif. Adapun “Pendidikan Pancasila” bertujuan agar kita
semakin memahami bahwa Indonesia adalah bangsa yang majemuk, sehingga ke
depannya, tidak ada lagi pertentangan dan pertikaian yang berkaitan dengan
masalah suku, antargolongan, ras, dan agama.
[1]Belferik Manulang, Grand Desain Pendidikan Karakter Generasi
Emas 2045, Jurnal Pendidikan Karakter, Tahun III, Nomor 1, Februari 2013,
halaman 2
Minggu, 09 November 2014
Pengembangan Pendidikan Karakter melalui Mata Pelajaran Muatan Lokal di Sekolah
Pengembangan
Pendidikan Karakter melalui Mata Pelajaran Muatan Lokal di Sekolah
Oleh. Nurul Rahmawati
Kemunculan
Pendidikan Karakter
Dimulai
pasca hiruk-pikuk ujian nasional tahun 2010 yang kemudian semakin berkembang
menjadi salahsatu solusi yang dianggap paling tepat untuk mengatasi
permasalahan UN tak kunjung selesai. Seperti sebuah air di padang pasir yang
gersang, pendidikan karakter telah membuat berbagai pihak dapat kembali
berharap bahwa pendidikan dan UN akan berjalan selaras seperti yang telah
dicita-citakan sejak dahulu. Ujian Nasional telah menjadi salahsatu standar
yang digunakan oleh pemerintah untuk mengukur keberhasilan siswa dalam menempuh
pendidikan, baik di Sekolah Dasar sampai ke jenjang Sekolah Menengah Atas. Pendidikan
karakter ini diharapkan dapat membantu mengatasi permasalahan dan pemerintah harus
mengambil berbagai konsekuensi agar pendidikan karakter tak hanya muncul
sebagai angin segar tetapi harus ada realisasi nyata seperti dengan meninjau
ulang kurikulum yang berlaku saat ini. Akhirnya dengan proses dan waktu yang
tidak singkat tentunya, pemerintah telah memcanangkan kurikulum baru yaitu
Kurikulum 2013 yang memuat dan memberikan ruang bagi pengembangan pendidikan
karakter di sekolah agar peserta didik mampu menjadi generasi yang lebih baik
lagi.
Apa
itu Karakter?
Karakter
adalah pisau bermata dua. Yang berarti setiap karakter memiliki dua sisi yang
saling bertolak belakang. Anak yang berkeyakinan tinggi akan memiliki dua
kemungkinan yang berbeda dan berlawanan. Kemungkinan pertama dia akan berani
karena kayakinan yang dimilikinya dan kemungkinan yang lain dia akan meremehkan
segala sesuatu bahkan tidak perhitungan karena dia terlalu yakin pada dirinya
sendiri (Munir, 2010: xii). Nah di sinilah sebenarnya titik pentingnya
pendidikan karakter, setiap anak memiliki karakter masing-masing dan karakter
ini dapat dibentuk melalui pendidikan sejak dini, mulai dari lingkungan
keluarga dan berkelanjutan sampai di bangku sekolah. Pendidikan karakter yang
berkelanjutan ini bertujuan untuk mengembangkan karakter anak secara maksimal
guna membangun mental dan kepribadian yang baik serta menumbuhkan karakter
positif.
Seperti
pendapat Munir di atas, sebenarnya tujuan pendidikan karakter bila dilihat
lebih jauh adalah mengembangkan karakter anak, dan karakter ini memiliki dua
sisi yang mengarah ke positif dan negatif, sehingga pendidikan karakter hanya
akan menumbuhkan karakter dari sisi yang mengarah ke positif dan meminimalisir
adanya pengembangan karakter dari sisi yang negatif. Hal ini dimulai dari
pendidikan di lingkungan keluarga misalnya mengembangkan rasa malu untuk
menumbuhkan kesopanan bukan untuk menumbuhkan rasa minder. Kemudian di bangku
sekolah mulai diajarkan bahwa anak harus percaya diri dan yakin dengan
kebenaran dan memakai cara yang benar untuk meyelesaikan suatu permasalahan
yang ada di lingkungan sekitarnya.
Pentingnya
Pendidikan Karakter
Di
tengah derasnya arus globalisasi dan maraknya korupsi, tawuran antarpelajar
serta konflik lainnya, bangsa ini membutuhkan alat yang dapat menekan dan
mengurangi berbagai konflik yaitu pendidikan yang berbasis nilai moral serta
karakter bangsa. Tak bisa dipungkiri lagi, generasi muda kita saat ini telah
mengalami degradasi moral, dimana mereka tak lagi menunjukkan sikap dan
nilai-nilai yang baik dan tidak mencerminkan kepribadian sebagai warganegara
Indonesia. Tidak hanya sampai disitu generasi muda kita juga tak lagi memiliki
tata karma, etika dan moral yang baik. Untuk itu, kedudukan pendidikan karakter
di dalam dunia pendidikan ini sangat penting dan pendidikan karakter sengaja dihadirkan
di tengah-tengah pendidikan tanah air sebagai salahsatu solusi yang jitu untuk
menyelesaikan berbagai permasalahan yang tengah dihadapi negeri ini. Pendidikan
karakter sebenarnya telah ada sejak lama, dan dalam sistem pendidikan kita
sebelumnya telah ada nilai-nilai karakter yang masuk ke dalam kurikulum
meskipun tidak tersurat dan dalam prakteknya belum memberikan hasil yang dapat
dilihat oleh mata kita. Pendidikan karakter pada dasarnya merupakan pembentukan
karakter yang baik yang diinginkan oleh seseorang kepada peserta didik agar
mereka dapat berkembang sesuai dengan lingkungan dan dapat bersikap, bertingkah
laku yang sesuai di dalam masyarakat. Pembentukan karakter ini sangat penting
karena pendidikan sendiri tidak pernah terpisahkan dari pembentukan karakter,
keduanya seperti tulang dan daging yang saling melengkapi. Pendidikan tanpa
pembentukan karakter tidak akan pernah menghasilkan individu yang baik begitu
juga pembentukan karakter tanpa pendidikan adalah sia-sia. Pada dasarnya
pembentukan karakter ini adalah kebiasaan yang baik yang diulang-ulang sehingga
akan tertanam dalam individu sehingga kebiasaan ini akan menjadi karakter yang
melekat kuat dan tidak mudah tergoyahkan. Pembentukan karakter memang tidak
mudah perlu adanya pengertian, pengetahuan dan internalisasi dalam diri
individu dengan baik dan benar.
Muatan
Lokal Sebagai Salahsatu Pendidikan Karakter di Sekolah
Pendidikan
adalah proses enkulturasi dimana manusia belajar memahami dan mengadaptasi pola
pikir, pengetahuan dan kebudayaan suatu kelompok manusia (Muslich, 2011: 44).
Dari pengertian di atas dapat dikaitkan bahwa proses enkulturasi di lembaga
pendidikan formal seperti sekolah dapat diambil dari mata pelajaran muatan
lokal yang sesuai dengan daerahnya masing-masing. Manusia dapat mempelajari
kebudayaan masyarakat sekitarnya dari pengembangan mata pelajaran muatan lokal
yang telah disetujui oleh tiap-tiap daerah di seluruh Indonesia. Sehingga dapat
dipastikan bahwa peserta didik dapat mengembangkan dirinya sesuai dengan muatan
lokal di daerahnya masing-masing. Sedangkan pengertian muatan lokal sendiri
menurut PERMENDIKBUD RI No. 81A Tahun 2013, muatan lokal adalah bahan kajian
pada suatu pendidikan yang berisi muatan dan proses pembelajaran tentang
potensi dan keunikan lokal yang dimaksudkan untuk membentuk pemahaman peserta
didik terhadap potensi daerah tinggalnya. Sedangkan jenis muatan lokal dapat
berupa: bahasa daerah, bahasa Inggris, kesenian daerah, keterampilan dan
kerajinan daerah, adat istiadat, dan pengetahuan tentang berbagai ciri khas
lingkungan alam sekitar, serta hal-hal yang dianggap perlu untuk pengembangan
potensi daerah yang bersangkutan.
Selain
untuk pengembangan potensi daerah di tingkat lokal, muatan lokal yang diajarkan
di sekolah juga memberikan berbagai gambaran dan manfaat dalam pembentukan
karakter, nilai dan moral yang berkembang di dalam masyarakat di lingkungan
mereka. Secara praktek, mata pelajaran muatan lokal ini sangat mendukung
pengembangan peserta didik khususnya sikap/afektif yang kemudian dapat
dilanjutkan ke implementasinya yaitu psikomotorik. Sehingga pembentukan
karakter, nilai dan moral yang baik akan terbentuk karena kebiasaan yang telah
ditanamkan melalui mata pelajaran ini dan kemudian juga diimplementasikan di
dalam masyarakat. Pengembangan muatan lokal juga akan membantu peserta didik
dalam bersikap dan berperilaku sesuai dengan adat istiadat, kebiasaan bahkan
norma-norma yang ada di dalam masyarakat, dimana peserta didik jika lulus dari
pendidikannya akan menjadi generasi penerus yang berkualitas tidak hanya
cerdas, berpendidikan, namun juga memiliki karakter yang kuat. Jika muatan
lokal dapat dikembangkan seperti di atas, maka pendidikan negeri ini akan
menghasilkan generasi emas yang tak hanya cerdas, berkarakter kuat tetapi juga
berakhlak mulia. Untuk itu, muatan lokal di daerah-daerah harus memiliki visi
yang sama yaitu mengembangkan potensi lokal dan juga mengembangkan sumberdaya
manusia lokal yang berkarakter kuat sesuai dengan adat istiadat serta
kebudayaan lokal yang dimilikinya.
Referensi :
Abdullah
Munir. 2010. Pendidikan Karakter: Membangun Karakter Anak Sejak Dari Rumah.
Yogyakarta: Pedagogia.
Masnur
Muslich. 2011. Pendidikan Karakter Menjawab Tantangan Krisis Multidimensional.
Jakarta: Bumi Aksara.
PERMENDIKBUD
RI No. 81A Tahun 2013 Tentang Implementasi Kurikulum.
MENDIDIK KAUM MUDA
MENDIDIK KAUM MUDA
Oleh : Sugiarto
A. Hakikat Pendidikan
Pendidikan
merupakan bagian dari siklus yang dialami oleh manusia, sebagaimana hakikatnya
sebagai makhluk sosial, memerlukan instrumen-instrumen agar proses dalam siklus
tersebut bisa berjalan sebagaimana mestinya. Perbincangan di seputar pendidikan
pada hakikatnya perbincangan manusia itu sendiri, artinya perbincangan diri
sendiri sebagai yang berhak mendapatkan pendidikan. Kaitanya dengan proses
manusia dalam menghadapi siklus kehidupan, diperlukan adanya suatu adaptasi
yang berasal dari ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan ini fungsinya adalah
memberikan pemahaman kepada manusia ketika menghadapi siklus kehidupan yang
seringkali tanpa disadari membuat manusia mengalami kesusahan terutama
tantangan perkembangan zaman.
Tantangan
terberat pada abad ke-21 ini adalah perkembangan teknologi yang seringkali
menuntut untuk selalu mengadaptasinya. Perkembangan teknologi membuat suasana
dilematis, yaitu disatu sisi perkembangan teknologi memudahkan manusia dalam
menjalani kehidupanya sehari-hari, dengan menggunakan alat-alat beragam dan
serba canggih. Namun disisi lain, perkembangan teknologi yang signifikan
ternyata membuat manusia untuk mengurangi aktifitas sosialnya dengan masyarakat
serta memunculkan sifat-sifat individualis.
Disamping
teknologi, tantangan lain adalah masuknya ideologi dari luar yang tidak sesuai
dengan ideologi Bangsa Indonesia. Ideologi Bangsa Indonesia adalah Pancasila,
yang bukan merupakan ideologi komunis maupun liberal. Dunia saat ini tengah
menghadapi serbuan idologi demokrasi liberal yang dikembangkan di Barat. Dengan
tidak adanya ideologi tandingan bagi demokrasi liberal, maka sangat mudah bangi
penganutnya untuk menyebarkan pengaruh ke luar komunitasnya. Kemudahan Barat
dalam menyebarkan pengaruh liberalisasi ke luar komunitasnya ini terbukti saat
masyarakat dunia banyak memberikan apresiasi yang baik terhadap modernisme yang
melahirkan globalisme, developmentalisme, industrialisasi, investasi, dan
sebagainya.
Sejatinya
semua tantangan yang dihadapi apabila tidak dilakukan proteksi secara
menyeluruh dapat mengakibatkan adanya gangguan sistem dalam kehidupan masyarakat.
Pendidikan seharusnya berfungsi sebagai penunjuk jalan, baik itu yang berupa
pendidikan formal di instansi ataupun pendidikan secara langsung dari keadaan
sekitar, masyarakat, dan keluarga. Di Indonesia pendidikan diusahakan oleh
pemerintah, hal ini termaktub dalam pasal 31 ayat 3 Undang-undang Dasar (UUD)
1945, dengan bunyi “Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan sistem
pendidikan nasional, yang meningkatkan
keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan
bangsa, yang diatur dalam undang-undang ”. Pasal-pasal yang di dalam UUD 1945
secara tersurat menyampaikan mengenai pendidikan, kemudian dijabarkan menjadi
undang-undang yaitu Undang-undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional. Di dalam undang-undang tersebut, sistem pendidikan Indonesia diatur,
terdapat pula rambu-rambu dalam rangka melaksanakan pendidikan nasional.
B. Eksistensi Kaum Muda Dalam Sejarah Indonesia
Sejarah
Indonesia diwarnai peristiwa-peristiwa heroik yang menggugah semangat
nasionalisme. Semangat pejuang yang gigih menegakan panji Indonesia agar tegak
berdiri memberi gambaran bahwa peristiwa heroik melahirkan pejuang-pejuang
patriotis yang ingin membawa perubahan mendasar dalam kehidupan rakyat
Indonesia. Dalam catatan sejarawan, periode heroik Indonesia memiliki rentang
yang panjang, beberapa diantaranya
meiliki tafsir yang berbeda.
Kurun
waktu abad ke-20, Indonesia mengalami masa yang bisa dikatakan sebagai puncak
perjuangan heroik. Seperti yang diungkapkan Frank Dhont, awal abad ke-20 yang
ditandai dengan industrialisasi dan modernisasi di wilayah Hindia Belanda
melahirkan orang-orang jenius. Ciri utamanaya adalah lahirnya
organisasi-organisasi yang bertujuan mencari formula kemerdekaan Indonesia. Ada tiga organisasi historis terkemuka yang dibentuk oleh kaum intelektual
Indonesia yang mewakili kaum intelektual Indonesia pada akhir tahun 1920-an.
Ketiga organisasi tersebut adalah Indonesische
Studieclub, Algemeene Studieclub, Dan
Perhimpoenan Indonesia. Ketiga organisasi itu merupakan organisasi
intelektual Indonesia yang paling depan dalam sejarah Indonesia pada dasawarsa
1920-an. Disamping
organisasi, cendekiawan–cendekiawan Indonesia banyak yang lahir pada masa ini dan melahirkan
ideologi baru kebangsaan. Wawasan kebangsaan yang digagas oleh cendekiawan
Indonesia berdampak pada perubahan pola pikir masyarakat Indonesia tentang
perjuangan merebut kemerdekaan.
Awal
abad ke-20, seperti diungkap pada paragraf sebelumnya, menunjukan eksistensi
kaum muda untuk terus berpikir tentang kemerdekaan Indonesia. Tentu jika hal
tersebut diimplikasikan dengan kondisi saat ini maka mereka tidak akan
selamanya berbicara mengenai kemerdekaan Indonesia tetapi berpikir bagaimana
memajukan kehidupan masyarakat yang diamanatkan dalam pembukaan UUD 1945. Eksistensi
kaum muda telah nyata dan berkontribusi besar terhadap perkembangan Bangsa
Indonesia. Selama masa pergerakan berlangsung, kamu muda menuangkan pemikiran
mengenai kemerdekaan Indonesia dengan mendirikan organisasi-organisasi politik.
Tokoh-tokoh besar telah lahir dan didominasi oleh kaum muda, seperti Soetomo,
Hatta, Soekarno, hingga Ki Hadjar Dewantara.
Eksistensi
kaum muda dalam sejarah Indonesia tidak terbatas hanya pada masa pergerakan
Nasional saja, baik sebelum dan sesudah pergerakan Nasional muncul kaum-kaum
muda dengan semangatnya yang tinggi untuk mencurahkan segala pemikiran, tenaga,
dan dedikasi terhadap kemajuan Bangsa Indonesia.
C. Mendidik Kaum Muda
Sejarawan
Anhar Gonggong dalam setiap kesempatan selalu mengungkapkan pentingnya kaum
muda untuk mendapat akses pendidikan. Sehingga untuk beberapa waktu mendatang
akan lahir generasi-generasi terdidik. Hal senada pula telah dicanangkan oleh
pemerintah dengan visi Indonesia emas pada tahun 2045. Visi Indonesia emas
tahun 2045 merupakan salah satu perhitungan yang dikemukakan oleh pemerintah
dengan melihat keadaan Indonesia pada tahun-tahun sekarang, disamping perayaan
kemerdekaan Indonesia yang ke-100. Menurut pemerintah apabila generasi sekarang
di didik dengan baik maka pada tahun 2045 akan muncul pemimpin-pemimpin muda
yang akan membawa pembaharuan dan kemajuan bagi Indonesia.
Anhar
Gonggong memberi contoh kaum muda terdidik adalah Soekarno dan Hatta.
Menurutnya, Soekarno dan Hatta telah ditempa oleh pendidikan yang di
selenggarakan oleh Pemerintah Kolonial Belanda, namun mereka tetap cinta
Indonesia dan berkeinginan agar Indonesia merdeka. Kedua orang tersebut menurut
Anhar Gonggong adalah contoh orang yang terdidik dan tercerahkan. Terdidik
artinya mereka mendapat pendidikan berkualitas yang dibuktikan dengan tingkat
pola pikir yang lebih baik ketimbang orang lain yang tidak mengenyam
pendidikan. Tercerahkan artinya adalah mereka tercerahkan hati nuraninya untuk
tidak mengambil sesuatu yang sangat bermanfaat bagi dirinya disaat masyarakat
Indonesia masih terjajah.
Di
dunia ini banyak orang yang terdidik, namun sangat sedikit yang tercerahkan.
Buktinya adalah banyak orang yang bergelar sarjana, master, doktor, hingga
professor yang masuk penjara karena melakukan korupsi. Hal ini sangat berbeda
jauh dengan apa yang dialami oleh Soekarno dan Hatta. Sebetulnya mereka berdua
bisa hidup enak dengan menerima tawaran dari pemerintah Kolonial Belanda
menjadi pegawai yang bergaji tinggi. Namun yang terjadi adalah sebaliknya,
mereka berdua dengan tegas menolak tawaran yang menggiurkan tersebut bahkan
rela untuk masuk penjara beberapa kali.
Soekarno
dan Hatta menjadi contoh bagaimana memberikan pendidikan bagi kaum muda.
Pendidikan yang bukan hanya mendidik untuk memahami ilmu pengetahuan melainkan
juga mendidik hati nurani mereka agar ilmu yang diperoleh bisa diterapkan
dengan baik sesuai jalan yang ditentukan oleh Tuhan Yang Maha Esa. Kunci pokok
adalah dengan menanamkan rasa nasionalisme ke dalam generasi muda agar mereka
dapat mencintai Bangsa Indonesia tanpa adanya rasa fanatisme berlebihan. Sikap
keteladanan dari orang-orang sekitar, yaitu orang tua dan guru perlu dipupuk
semenjak dini. Banyak kasus seperti diungkap oleh media, menunjukan bahwa
pengaruh orang-orang sekitar memiliki andil besar terhadap perilaku menyimpang
kaum muda. Misalnya, banyak anak yang diajari untuk mengeluarkan kata-kata
kotor semenjak kecil dan hal tersebut akan berlanjut hingga dewasa.
Pentingnya
memberikan pendidikan yang baik kepada kaum muda patut menjadi perhatian
bersama. Mengingat siklus kehidupan selalu berputar, generasi sekarang yang
berkuasa akan digantikan oleh generasi berikutnya. Apabila mereka tidak
dibekali dan dipersiapkan secara matang maka tidak akan lahir generasi emas. Kesemuanya
itu ditentukan dengan pendidikan apa yang diberikan kepada generasi saat ini. Hal
terburuknya adalah kemajuan dan kemandirian ekonomi Indonesia yang selama ini
di idam-idamkan dan didengungkan tidak akan pernah terwujud.
Referensi
Abd.
Rachman Assegaf. 2003. Internasionalisasi Pendidikan: Sketsa
Perbandingan Pendidikan Di Negara-negara Islam Dan Barat. Yogyakarta: Gama
Media.
Djohar. 2006.
Pengembangan
Pendidikan Nasional Menyongsong Masa Depan. Yogyakarta: Grafika Indah.
Frank
Dhont. 2005. Nasionalisme Baru Intelektual
Indonesia
Tahun
1920-An. Yogyakarta:
Gadjah Mada University Press.
Sabtu, 11 Oktober 2014
Permainan Pancasila Puzzle Games Sebagai Media Pengembangan Karakter Anak
Permainan
Pancasila Puzzle Games Sebagai Media Pengembangan Karakter Anak
*(
Oleh Aji Dwianto
Abstract:
Pancasila Puzzle Games as a Medium to Develop Children Character.
The concept of
Pancasila consists of many noble values to learn and applied. Along with
character education, the comprehension of Pancasila have to boosted in National
Education development. Therefore, it’s important to create many innovative
learning strategy. For children, Pancasilacan be taughtthrough a variety
ofgames, includingPuzzle.Pancasila Puzzle Games can be a joyful way to stimulate their intelligence and
concentration. In such a way, their comprehension to Pancasila will developed
and they become whole human beings who possess knowledge, skills, good heart,
and sensitivity.
Keywords:pancasila,
character building, puzzle.
Pendahuluan
Nilai-nilai Pancasila
sebagai ideologi atau falsafah terlahir dan telah membudaya di dalam sejarah
perjalanan bangsa Indonesia. Nilai-nilai
itu tertanam dalam hati, tercermin dalam sikap dan perilaku serta kegiatan
masyarakat. Dengan kata lain, Pancasila telah menjadi cita-cita moral bangsa
Indonesia, yang mengikat seluruh warga masyarakat baik sebagai perorangan maupun
sebagai kesatuan bangsa (Poespowardojo dan Hardjatno, 2010).
Dalam kenyataannya,
Karakter masyarakat Indonesia saat ini justrutelah bergeser dari nilai-nilai
Pancasila, yang ditandai dengan melemahnya akhlak dan moral, kurangnya
toleransi dalam kehidupan beragama, rasa kedaerahan sempit, kurangnya rasa
kegotong-royongan, dan kurangnya rasa keadilan sosial di masyarakat.Hal
tersebutdisebabkankarenamasyarakatkitahanya menerapkan pembelajaran itu sebatas
teori tanpa aplikasi ke dalam kehidupannya.
Adanya globalisasi juga
mengakibatkan paham-paham asingsemakinmudah masuk ke Indonesia dan menggeser
Pancasila sebagai ideologi bangsa yang sebenarnya. Selain itu, budaya luar juga
dapat dengan mudah mempengaruhikepribadian, khususnya generasi muda. Banyak
sekali generasi muda yang menerima seutuhnya kebudayaan dari luar tanpa
memilah-milah dan menyaring kebudayaan tersebut dengan cara menyesuaikannya
dengan kepribadian bangsa.
Di zaman modern seperti
saat ini, masih banyak persoalan tentang penerapan Pancasila dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara, baik di daerah perkotaan maupun pedesaan.Mungkin kita
akan bertanya siapakah yang bertanggung jawab atas segala masalah tersebut atau
mungkin dalam hal ini siapakah yang salah dalam mengkonsep pendidikan Pancasila
di Negara ini?
Hasil survey yang
dilakukan oleh harian Kompas, dan dirilis pada 1 Juni 2008, memperlihatkan
pengetahuan masyarakat mengenai Pancasila memang merosot tajam. Survei yang
dilakukan Kompas pada tanggal 28 - 29 Mei Mei 2008 tersebut menunjukkan bahwa
48,4 % responden berusia 17 - 29 tahun menyebutkan kelima Pancasila salah atau
tidak lengkap. 42,7 % responden berusia 30 - 45 tahun salah menyebutkan kelima
Pancasila. Responden berusia 46 tahun ke atas lebih parah, yakni sebanyak 60,6
% yang salah menyebutkan kelima sila Pancasila.
Swanson dan Holton
menyimpulkan organisasi belajar sebagai strategi untuk meningkatkan kinerja
dipengaruhi oleh faktor belajar, faktor stretegi organisasi obelajar dan faktor
inovasi (Salma Dewi dkk, 2008). Maka diperlukan sebuah langkah nyata dalam
upaya memperkuat nilai-nilai pencasila dalam kehidupan sehari hari. Mengingat
generasi muda adalah generasi emas yang nantinya akan membawa negeri ini pada
kemajuan. Pendidikan kewarganegaraan harus dapat memberikan pengalaman kepada
generasi baru sesuai dengan kebutuhan perkembangannya (Zamroni, 2007: 151).
Revitalisasi
Nilai-Nilai Pancasila Melalui “Pancasila Puzzle Games”
Telah diketahui bersama
bahwa Indonesia saat ini berada dalam tahap transisi perubahan kurikulum KTSP ke
Kurikulum Baru 2013. Tentunya dalam mengoptimalkan kurikulum baru tersebut
dibutuhkan komponen pembelajaran yang berkarakter sebagai tujuan utama
pendidikan. Harapan besar bahwa Pancasila dapat menjembatani persoalan karakter
bangsa. Maka penulis menggagas inovasi yang bertujuan untuk menanamkan
nilai-nilai Pancasila, yakni Pancasila Puzzle Games.
Menurut Patmonodewo
(Misbach, Muzamil, 2010) kata puzzle berasal dari bahasa Inggris yang berarti
teka-teki atau bongkar pasang, media puzzle merupakan media sederhana yang
dimainkan dengan bongkar pasang.
Puzzle merupakan
permainan menyusun kepingan gambar sehingga menjadi sebuah gambar yang utuh.
Dalam bermain puzzle membutuhkan ketelitian, anak akan dilatih untuk memusatkan
pikiran, karena anak harus berkonsentrasi ketika meyusun kepingan-kepingan
puzzle tersebut hingga menjadi sebuah gambar yang utuh dan lengkap (Pramudiati,
Rezha: 2011).
Dengan puzzle, anak-anak belajar memahami konsep bentuk,
warna, ukuran dan jumlah. Tentunya bentuk puzzle yang digunakan lebih beragam
dan mempunyai warna yang lebih mencolok. Memasang kepingan puzzle berarti
mengingat gambar utuh, kemudian menyusun komponennya menjadi sebuah gambar
benda. Cara anak menyelesaikan gambar utuh puzzle adalah dengan menggunakan
metode coba dan ralat. Warna dan bentuk kepingan adalah dua hal yang
diperhatikan anak saat memasang puzzle. Bermain puzzle melatih anak memusatkan
pikiran karena ia harus berkonsentrasi ketika mencocokkan kepingan-kepingan
puzzle. Selain itu, permainan ini meningkatkan keterampilan anak menyelesaikan
masalah sederhana.Puzzle saat ini telah menjadi sebuah permainan yang digemari
oleh anak-anak, terutama anak-anak yang ada pada usia pendidikan TK (Taman
Kanak-Kanak) dan SD (Sekolah Dasar).
Pancasila Puzzle Games merupakan terobosan baru untuk
komponen pembelajaran nilai-nilai Pancasila bagianak-anak. Gambar
padasetiapPancasila Puzzle Games menunjukan suatu fenomena yang terintegrasi
terhadap beberapa sila dari Pancasila.
Puzzle yang dilengkapi
dengan nilai-nilai Pancasila yang tercermin dalam gambarnya, diharapkan mampu
meningkatkan pengetahuan dan penerapan Pancasila dalam kehidupan sehari-hari.
Metode ini pun mampu dengan mudah diterima oleh anak di usia tersebut karena
sifat dari media ini adalah permainan. Selain itu permainan ini juga sifatnya
lebih kepada penangkapan visual anak dalam melihat gambar selain penalaran
untuk menyusun puzzle. Kemampuan visual yang ada di dalam diri anak usia TK dan
SD masih sangat peka dan akan diingat menjadi memori jangka panjang, karena anak
dalam usia itu mempunyai kemampuan mengingat yang tinggi.
Langkah
Strategis Dalam Mengimplementasikan “Pancasila puzzle Games”
Sebagai media
pembelajaran yang interaktif dan edukatif,Pancasila Puzzle Gamessangat cocok
diberikan untuk anak-anakusia TK maupun SD. Sebelum Permainan ini dijalankan,
pendidik terlebih dahulu menjelaskan tujuan pembelajaran terhadap nilai-nilai
Pancasila dan juga perlu menjelaskan gambaran umum Pancasila dalam kehidupan
sehari-hari secara sederhana. Selanjutnya dalam menggunakan komponen tersebut
perlu diketahui pula bahwa proses implementasi pada jenjang TK dan SD berbeda. Pada jenjang TK permainan hanya
dimainkan dengan menekankan nilai-nilai yang perlu ditanamkan pada anak usia
dini pada jenjang TK sehingga belum begitu dijelaskan tahap dalam mengolah dan
menafsirkan hubungan atas lambang, bunyi sila, dan implementasi secara
menyeluruh. Sedangkan bagi siswa SD tentunya pembahasannya akan lebih kompleks
sesuai kebutuhan pembelajaran dan kurikulum sekolah. Pada jenjang SD Pancasila
Puzzle Games diterapkan dengan menjelaskan secara kontekstual esensi dari
setiap sila dalam Pancasila melalui perwujudan sila beserta bunyinya dalam
setiap fenomena kehidupan pada gambar Puzzle.
Pada hakekatnya,
tujuandalam permainan Puzzle ini adalahmengoptimalkan pembelajarannilai-nilai
Pancasila dalam kehidupan sehari hari sehinggadapat terinternalisasi dan
terinstitusionalisasi dalam proses operasionalnya. Selain itu demi menyongsong
sekaligus mengukuhkan tujuan kurikulum 2013 maka nilai-nilai karakter perlu
ada, sehingga diperlukan sebuah komponen yang pembelajaran yang terintegral
dari nilai-nilai luhur bangsa.
Pada sila pertama yang
berbunyi “Ketuhanan yang Maha Esa” maka pada puzzle dapat digambarkan seseorang
yang menunaikan ibadah, dapat pula digambarkan bangunanyang ada kaitannya
dengan keagamaan seperti masjid, gereja, Kuil, vihara dll. Begitupun dengan
sila kedua “ Kemanusiaan yang Adil dan Beradab” maka pada puzzle bergambarkan
seseorang anak sekolah yang sedang membantu seorang Nenek menyeberang jalan
atau sekelompok orang yang sedang membantu orang yang tertimpa musibah
kebanjiran dan seterusnya hingga sila ke-lima.
Pada bagain belakang
Puzzle disediakan berbagai nilai karakter yang sesuai dengan setiap sila dalam
Pancasila. Namun nilai sikap tersebut baru boleh dilihat oleh anak ketika
berhasil menyelesaikan Puzzle dengan baik. Kemudian yang harus dilakukan oleh
seorang anak yakni mencontoh sikap tersebut dalam kehidupan sehari-hari.
Adapun beberapa pihak
yang membantu mengimplementasikan Pancasila Puzzle Games ini yakni para guru
anak usia dini dan sekolah dasar yang tentunya menjadi pendidik di sekolah.
Selain itu orang tua pun dapat ikut menjadi pelaksana gagasan ini di lingkungan
rumah. Mengingat waktu seorang anak di
rumah cukup banyak yang memungkinkan orang tua dapat memberikan permainan
tersebut. Lalu pihak bimbingan belajar di luar sekolah juga memiliki peran
dalam membantu menerapkan permainan Pancasila Puzzle Games ini.
Penutup
Dalam menyongsong
sekaligus menopang tercapainya tujuan kurikulum 2013, diperlukan sebuah
komponen pembelajaran yang terintegral dari nilai-nilai luhur bangsa.Melalui
pendidikan yang terintegrasi dan penuh inovasi maka akan mengantarkan Indonesia
pada visi bersama bahwa implementasi kurikulum 2013 dapat menjadi langkah awal
bangsa dalam menuju terciptanya pendidikan yang bermutu dan berkualitas serta
berlandaskan pada nilai-nilai luhur
Pancasila yang memuat nila-nilai karakter berbangsa dan bernegara.
Melalui permainan
Pancasila Puzzle Games, diharapkan terbentuk karakter seorang anak yang
memahamidanmenghayati nilai-nilai Pancasila. Hal ini merupakan strategi
pembelajaran yang ideal diaplikasikan pada anak usia dini dan jenjang
pendidikan dasarsebagaisebuah strategi pembelajaran, yang merupakan komponen
penting dalam perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi belajar ( Gafur, Abdul,
2012).
Pada hakekatnya, tujuan
dalam permainan Puzzle ini adalahmengoptimalkan nilai-nilai Pancasila dalam
kehidupan sehari-hari, sehingga nilai-nilai Pancasila dapat terinternalisasi
dan terinstitusionalisasi dalam proses operasionalnya.
Langganan:
Postingan (Atom)