Pendidikan yang Manusiawi untuk Mewujudkan Generasi Emas Indonesia
oleh: Andreas Agil
Munarwidya
Wajib Belajar?
Perlu dipahami dengan
saksama bahwa pendidikan di Indonesia terbagi ke dalam tiga jalur utama, yaitu
formal, nonformal, dan informal.
Pendidikan formal adalah pendidikan yang diselenggarakan di sekolah-sekolah pada umumnya.
Jalur pendidikan ini mempunyai jenjang pendidikan yang jelas, mulai dari
pendidikan dasar, pendidikan menengah, sampai pendidikan tinggi.
Pendidikan nonformal paling banyak terdapat pada usia dini, serta pendidikan dasar, adalah
TPA, atau Taman Pendidikan Al Quran,yang banyak terdapat di setiap masjid dan Sekolah
Minggu, yang terdapat di semua gereja. Selain itu, ada juga berbagai kursus, diantaranya kursus
musik, bimbingan belajar dan sebagainya.
Pendidikan informal adalah jalur pendidikan keluarga dan
lingkungan berbentuk kegiatan belajar secara mandiri yang dilakukan secara
sadar dan bertanggung jawab.
(wikipedia.org)
Oleh karena itu, ketika kita harus berbicara ihwal pendidikan
di Indonesia, sebenarnya kita wajib mengikutsertakan pemahaman akan jalur
utama pendidikan Indonesia di atas tadi. Namun, kenyataan yang terjadi saat ini
memaparkan pada kita semua bahwa pendidikan yang terus dikembangkan dan sering
mendapatkan perhatian lebih hanya terpusat pada penguatan-penguatan di wilayah
pendidikan formalnya. Sadar atau tidak, inilah penyebab kegagalan kita dalam
merumuskan pendidikan yang baik untuk bangsa Indonesia, karena ternyata kita
lalai dan lupa bahwa pendidikan di Indonesia tidak hanya berada pada
ruang-ruang kelas, sekolah, kampus, dan atauuniversitas.
Penguatan di wilayah pendidikan formal seharusnya juga
diseimbangkan dengan penguatan di wilayah pendidikan nonformal dan pendidikan
informal. Penanaman karakter berupa logika yang baik, etika yang santun, serta
estetika yang benar harus dihadirkan di dalam ruang-ruang
pendidikan nonformal terlebih di pendidikan informal. Kita kerap mendengar
bahwa pendidikan yang baik adalah pendidikan yang dimulai sejak dini atau sejak
kita masih berada dipangkuan kedua orang tua kita. Akan tetapi, kenyataan yang
ada di lapangan menunjukkan bahwa pendidikan anak di rumah banyak yang
terabaikan. Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) juga seolah-olah dijadikan sebagai
Pendidikan Anak... “karena masih terlalu
dini, ya sudah, dibuat apa adanya saja”.
Di sisi lain, kewajiban
belajar masyarakat Indonesia tereduksi dengan “perintah” wajib belajar 9 tahun.
Alih-alih mencerdaskan kehidupan bangsa, program wajib belajar 9 tahun hanya
menjadikan pembelajar muda Indonesia terjerumuskan pada pola pikir: “yang
penting sudah belajar 9 tahun”. Alhasil, hanya capaian tahunnya (baca:
kuantitas) saja yang terlaksana, tetapi pada kenyataannya minim dengan capaian
keahlian dari sumber daya manusia yang sudah belajar 9 tahun itu (baca:
kualitasnya). Padahal, untuk memajukan bangsa yang kuat ini, kita membutuhkan
sumber daya manusia yang berkarakter kuat lewat pendidikan itu sendiri.
Faktor determinan membangun
kehidupan yang lebih
baik, termasuk kehidupan berbangsa adalah sumber daya
manusia (SDM). Wilson dan
Ernesto (Davis, 1990:1) mengatakan
bahwa sentra utama kehidupan adalah
SDM. Mereka mengatakan: “If you dig very deeply into any problem, you will
get people. The
human being is the
center and yardstick of everything”.
Apa jadinya bila selama
ini pendidikan hanya dianggap formalitas saja? Akhirnya tidak mengherankan bila
lahir pula generasi penerus yang sama –bahkan mungkin jauh lebih buruk– karena
generasi sebelumnya gagal mencerna pendidikan sebagai sebuah kebutuhan primer,
bukan hanya di wilayah formal, melainkan juga di wilayah nonformal terlebih
lagi di wilayah informal.
Pendidikan yang
Sesuai dengan Kebutuhan Manusia
Banyak arti dan definisi dari pendidikan –bahkan terlalu
banyak. Akan tetapi, pendidikan yang didefinisikan beragam dan bermacam itu
akhirnya sekedar menjadi wacana bisu yang semakin menenggelamkan masyarakat
pada diskusi-diskusi abstrak tentang arti dari sebuah pendidikan. Masih banyak
manusia-manusia Indonesia yang terbelakang dan tertinggal pendidikannya bukan
karena program-program pendidikan dari pemerintah yang tidak bagus. Bukan.
Keterbelakangan dan ketertinggalannya bangsa kita di bidang pendidikan lebih
dipengaruhi oleh cara pandang kita dalam memaknai pendidikan itu sendiri. Tidak
dapat dipungkiri bahwa manusia membutuhkan pendidikan untuk mencerdaskan
pemikirannya guna didayagunakan untuk kesejahteraannya dalam rangka mencari
pekerjaan ataupun penghidupan agar mencapai kebahagiaan dalam hidupnya lahir
maupun batin. Akan tetapi, fakta di lapangan menjawab bahwa proses pendidikan
yang dilakukan oleh bangsa kita saat ini tidak benar-benar aplikatif alias
tidak mengantarkan kita pada pemenuhan kebutuhan untuk saat ini dan untuk masa
yang akan datang.
Lalu, pendidikan yang bagaimana yang dapat memenuhi harapan
tersebut di atas? Jawabannya adalah “pendidikan yang manusiawi”: pendidikan
yang menjadikan manusia menjadi sejatinya manusia (humanis) dengan mendorong
manusia supaya mendayagunakan akal dan budinya demi terciptanya kedamaian dan
kesejahteraan bersama. Pendidikan ini menitikberatkan pada pemenuhan kebutuhan
lahir batin manusia sebagai subjek sekaligus objek dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Pendidikan yang memberikan kepastian
visi dengan hasil akhir berupa manusia-manusia merdeka yang mampu hidup dengan
keahliannya untuk memenuhi kebutuhan hidupnya bukan dengan saling menjatuhkan
dan memperkaya diri sendiri, melainkan dengan tolong menolong, yang mampu
membantu yang kurang mampu, dengan berasaskan perikemanusiaan dan perikeadilan.
Pembelajar-pembelajar muda Indonesia tidak perlu dibebani dengan banyak mata
pelajaran yang harus dipelajarinya padahal tidak semua mata pelajaran itu
berkaitan dengan kebutuhan hidupnya. Cukuplah pembelajar-pembelajar muda
Indonesia belajar sesuai dengan keahlian yang dapat membawanya sukses menuju
kebahagiaan lahir dan batinnya.
Matematika,
Bahasa, dan Seni
Fakta menunjukkan bahwa pertumbuhan ilmu pengetahuan,
teknologi, ekonomi, dan kebudayaan telah berkembang pesat di lebih dari satu
dekade sejak masuknya Era Reformasi di Indonesia. Maka dari itu, agar bangsa
Indonesia tidak selalu tertinggal dengan bangsa yang lain di bidang-bidang yang
disebutkan tadi, pendidikan yang mengorientasikan pada pemenuhan kebutuhan
berdasarkan keahlian masing-masing dari pembelajar-pembelajar Indonesia harus
segera direalisasikan dan dikuatkan pondasinya. Adapun pondasi dasar keilmuan
masyarakat Indonesia yang harus segera dikuatkan, secara filosofis terbagi
dalam tiga hal, yaitu logika, etika, dan estetika.
Penguatan pondasi logika adalah dengan mempelajari ilmu “matematika”.
Ilmu tentang angka-angka ini jangan dimaknai sebagai ilmu hitung-hitungan dan
kalkulasi dari penambahan, pengurangan, perkalian, dan juga pembagian saja.
Ilmu ini (matematika/aritmatika) adalah aplikasi dari logika manusia. Sadar
atau tidak, penciptaan teknologi-teknologi mutakhir yang ada di negara-negara
maju seperti Jepang dan Amerika adalah dikarenakan logika mereka yang mumpuni
untuk memikirkan hal-hal yang awalnya tidak mungkin dilakukan manusia di zaman
dahulu dengan menerjemahkan angka-angka tersebut menjadi bentuk yang “unik” dan
“berbeda”. Logika-lah yang mengantarkan manusia pada perkembangan sains
dan teknologi yang super duper canggih,
yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya.
Selanjutnya, penguatan pondasi etika adalah dengan
mempelajari ilmu “bahasa”. Ilmu tentang kumpulan kata, frasa, klausa,
kalimat, bahkan wacana –yang akhirnya bertujuan sebagai alat komunikasi– ini
jangan dimaknai sebagai ilmu mendengarkan/menyimak, berbicara, membaca, dan
menulis saja. Ilmu ini (bahasa) adalah ilmu para pujangga sekaligus orator dan
ulama-ulama dari masa ke masa. Lewat kata-kata yang terangkai indah, ilmu ini
sudah menjelajah dari satu dimensi ke dimensi yang lain. Menggugah hati,
mengobarkan semangat di dalam diri. Maka tidak salah bila ada peribahasa
mengatakan, “ajining diri dumunung ana
ing lathi”, yang berarti kepribadian yang murni ada dalam ucapan/kata.
Peribahasa Jawa (red: paribasan) tersebut menunjukkan bahwa etika atau karakter
kesantunan dan kesopanan atas norma yang berlaku bagi manusia, ada pada
kata-kata dari manusia itu sendiri; ada pada pengucapan, penggunaan, dan
pemilihan kalimat (diksi) dari manusia itu sendiri. Manusia akan dikatakan baik
apabila cara berkatanya santun dan isi atau konten dari perkataannya juga sopan
dan terjaga.
Terakhir, penguatan pondasi estetika tentunya dengan
mempelajari ilmu “seni/kesenian”. Ilmu tentang pengungkapan keindahan dan
keelokan ini jangan dimaknai sebagai ilmu seni rupa, seni musik, seni tari, dan
seni bermain peran saja. Ilmu ini (seni/kesenian) adalah ilmu yang berkaitan
dengan perasaan dan kejiwaan manusia. Ilmu ini juga sudah menjelajah ke
penglihatan manusia, perabaan tangan manusia, gerak dan liuk tubuh manusia,
serta pendengaran yang mencipta nuansa harmonis di jiwa. Seni adalah keluaran;
keluaran hasrat, emosi, dan gairah kebaikan manusia. Oleh karena itu, tidak
mengherankan bila setelah kita menyaksikan pertunjukkan seni, hati dan jiwa
kita akan syahdu dan tergugah.
Indonesia Emas
yang Seperti Apa?
Dengan memadukan “Pendidikan yang Manusiawi” tadi dengan “Matematika
yang Baik”, “Bahasa
yang Santun”, serta “Seni yang Benar”, bangsa ini diharapkan mampu mewujudkan satu generasi emas berdasarkan cita-cita
lampau kemerdekaan Indonesia di tahun 1945, yakni sebuah “Peradaban yang Mulia” yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah
darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan berbangsa,
dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan
kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.
Akhirnya,
setelah memahami konsep di atas tadi, mari kita bersama-sama merealisasikannya,
tentunya dengan tidak lupa untuk melaksanakan “Pendidikan Agama” dan “Pendidikan Pancasila” secara menyeluruh di semua jenjang pendidikan. “Pendidikan Agama” diperlukan untuk menjaga moral dan sisi religiusitas
pembelajar-pembelajar Indonesia agar terhindar dari sifat takabur yang berujung
pada perilaku destruktif dan koruptif. Adapun “Pendidikan Pancasila” bertujuan agar kita
semakin memahami bahwa Indonesia adalah bangsa yang majemuk, sehingga ke
depannya, tidak ada lagi pertentangan dan pertikaian yang berkaitan dengan
masalah suku, antargolongan, ras, dan agama.